Tidak ada bangsa yang mencapai kemajuan tanpa kebiasaan membaca buku. Sayangnya, gerakan literasi di Indonesia menempuh jalan terjal. Akses terhadap buku bermutu terbatas. Budaya membaca masih rendah. Tata kelola perbukuan nasional kurang terpadu. Tidak ada jalan pintas mendongkrak literasi. Tak cukup membagikan buku seperti dilakukan setiap tahun oleh berbagai lembaga pemerintah. Tingkat literasi Indonesia rendah karena berbagai hal. Salah satunya, kebiasaan membaca buku belum membudaya. Alhasil, fondasi gerakan literasi menjadi rapuh. Selain itu, minim sokongan ketersediaan buku-buku bermutu. Pemerataan akses ke buku diperlukan untuk membudayakan kebiasaan membaca. Akses ini mewujud dalam kehadiran toko buku, perpustakaan, pojok baca, pameran buku, dan komunitas-komunitas literasi. Sayangnya, banyak kendala meningkatkan akses itu. Sejumlah toko buku tutup karena merugi. Buku-buku di pojok baca kurang diminati. Harga buku di pameran-pameran buku juga tidak ramah di kantong. Ba...
Dulu, perempuan rahasia langit. Langkahnya pelan, tunduknya dalam. Ia dilukis dalam sejarah sebagai simbol kelembutan. Bukan dijadikan objek dan dieksploitasi di altar pertunjukan yang katanya majelis sholawat. Perempuan sudah kehilangan eksistensinya dari penjaga nurani menjadi pelayan euforia. Mereka menutup aurat, yes betul. Tapi hanya sekedar bungkus. Isinya goyang ngolek, goyang keramas. Dua istilah yang lebih cocok muncul di warung remang-remang daripada di acara yang konon katanya mejelis cinta Nabi. Dalam pemikiran Simon de Beauvoir: "Perempuan tidak dilahirkan sebagai objek, tapi dibuat menjadi objek oleh struktur budaya". Tapi hari ini, di pentas absurd mereka bukan hanya menjadi objek. Tapi mereka sendiri yang mejadikan objek sebagai dalih ekspresi iman. Gerakan tubuh yang menggeliat di atas panggung bukan bentuk ekspresi spiritual. Itu adalah penghinaan simbolik pada kemulian perempuan. Lantas, di mana rasa malunya? Di mana harkat dan martabatnya? Apakah me...