Semua harus beradaptasi dengan perkembangan zaman, tidak terkecuali para penulis yang perlu mengenal lebih dalam pembaca masa kini. Generasi anak muda yang tumbuh di era serba ada membuat mereka lebih spesifik dan selektif dalam memilih buku bacaan.
Anak muda mulai dari generasi milenial, Y, hingga alpha sebenarnya masih gemar membaca buku, baik buku fisik maupun digital. Namun, mereka resah karena buku yang selama ini beredar hanya menyuguhkan kisah-kisah sukses seseorang atau bahkan terkesan menggurui, sedangkan mereka hidup di zaman keterbukaan informasi yang luas.
Hal tersebut, tidak lagi relevan dengan kehidupan anak muda zaman sekarang. Seperti contoh, buku biografi dengan sampul buku bergambar foto seseorang dan berisi kisah-kisah suksesnya di masa lalu sangat tidak relevan dengan kondisi hidup zaman sekarang. Mereka lebih suka buku berisi fenomena masa kini atau masa depan yang berkaitan langsung dengan hidup mereka sehari-hari.
Buku-buku yang isinya menggurui kurang diminati karena anak muda benci didikte. Anak muda itu butuh banget teman yang bisa mengerti perasaan dan mendengar cerita yang distigma fragile (rentan).
Selain itu, pepatah yang berbunyi "Jangan menilai buku dari sampulnya saja sepertinya tidak berlaku lagi untuk anak muda. Sebab, mereka hidup di zaman serba ada, banyaknya pilihan membuat mereka cukup sulit memilih buku yang menarik.
Oleh karena itu, penulis lebih adaptif dengan pembacanya, mulai dari membuat desain sampul depan yang kekinian dan sinopsis yang menarik bagi anak muda. Penulis juga harus bisa membaca kebutuhan target pembacanya agar menarik bagi anak muda, di antara ribuan buku lain, utamanya dalam pemilihan kalimat yang mudah dipahami dan renyah tapi full daging.
Zaman sekarang ini ketertarikan terhadap sesuatu itu hanya tiga detik, jadi ketika menonton, mendengar musik, dan memilih buku kalau tiga detik pertama itu tidak menarik, langsung ditinggalkan.
Sementara itu, di antara anak muda sendiri masih terdapat stigma orang yang gemar membaca buku di zaman digital ini adalah orang yang kaku, serius, bahkan aneh, sehingga mereka lebih memilih membaca di ruang-ruang privat. Gerakan literasi seperti gerobak baca kemudian menjadi jawaban untuk membuat ruang aman dan nyaman bagi penyuka buku. Tidak ada buku bagus atau jelek dan tidak ada yang lebih pintar dengan buku yang dibacanya. Mereka berkumpul, duduk bersama, mengambil buku masing-masing, lalu saling mendiskusikannya dengan teman lainnya.
Jangan sampai ada yang sembunyi di kamarnya membaca buku, karena justifikasi sok keren dan sok pintar sama teman-temannya hanya karena mereka baca buku.
Alih wahana
Kekuatan cerita adalah yang terpenting dalam penulisan buku, cerita yang baik akan selalu bisa dikembangkan ke berbagai macam bentuk, seperti teater, puisi, musik, dan film. Kebanyakan anak muda kini lebih banyak mengenal buku dari bentuk alih wahananya, baru membaca bukunya.
Kita sebenarnya punya potensi besar untuk seperti itu, banyak cerita dan peristiwa penting yang bisa dijadikan film atau lainnya, tetapi sering kali kita terlalu mengikuti selera pasar.
Anak muda tidak suka buku berbagi kisah sukses masa lalu, mereka butuh buku dengan solusi atas masalah mereka masa kini.
Komentar
Posting Komentar