Dulu, perempuan rahasia langit. Langkahnya pelan, tunduknya dalam. Ia dilukis dalam sejarah sebagai simbol kelembutan. Bukan dijadikan objek dan dieksploitasi di altar pertunjukan yang katanya majelis sholawat. Perempuan sudah kehilangan eksistensinya dari penjaga nurani menjadi pelayan euforia.
Mereka menutup aurat, yes betul. Tapi hanya sekedar bungkus. Isinya goyang ngolek, goyang keramas. Dua istilah yang lebih cocok muncul di warung remang-remang daripada di acara yang konon katanya mejelis cinta Nabi.
Dalam pemikiran Simon de Beauvoir: "Perempuan tidak dilahirkan sebagai objek, tapi dibuat menjadi objek oleh struktur budaya". Tapi hari ini, di pentas absurd mereka bukan hanya menjadi objek. Tapi mereka sendiri yang mejadikan objek sebagai dalih ekspresi iman.
Gerakan tubuh yang menggeliat di atas panggung bukan bentuk ekspresi spiritual. Itu adalah penghinaan simbolik pada kemulian perempuan. Lantas, di mana rasa malunya? Di mana harkat dan martabatnya? Apakah mereka lupa bahwa malu bagian dari iman? Atau di zaman ini imam sudah bisa ditukar dengan tiket masuk dan efek lampu panggung?
Hari ini, kita sedang menyaksikan dekadensi yang dibungkus kain syar'i dan itu jauh lebih berbahaya dari keburukan yang telanjang karena menyesatkan dengan rasa benar. Jika perempuan-perempuan agung seperti Ummuna Khodijah, Ummuna Aisyah, Ummahat yang lain, dan sahabiyah-sahabiyah agung, apakah akan mengamini tarian-tarian tidak berbermoral yang sekarang sedang menjadi trend, atau justru berbalik arah? Karena apa yang telah diperjuangkan dicampuradukkan dengan gerakan yang bahkan tak pantas dilihat oleh anak kecil. Jelas, ini bukan kemajuan iman. Ini pelecehan kolektif atas apa yang dahulu dijaga, diperjuangkan berdarah-darah oleh para perempuan agung dalam sejarah.
Tidak cukup di atas saja, mereka memberi nama gerakan-gerakan khas itu "goyang ngolek" dan "goyang keramas". Dua frasa yang kalau dibaca dalam doa pasti membuat lidah kelu dan malaikat malu mencatat.
Goyang ngolek merupakan simbol domestik yang diseret ke panggung spiritual. Goyang keramas apa tujuannya dilakukan di ruang publik. Jika perempuan keramas di ruang privat adalah simbol kesucian dan perawatan diri, apa maknanya jika itu ditampilkan di ruang publik sebagai tarian? Ini bukan hanya kegilaan. Ini penghinaan terhadap fitrah, terhadap perempuan, terhadap Baginda, dan terhadap logika paling dasar manusia waras.
Dulu, perempuan adalah simbol kehormatan. Ia dijaga bukan karena lemah, tapi karena mulia. Ia menundukkan pandangan bukan karena tertindas, tapi karena tahu nilai dirinya. Sekarang lihatlah mereka di pentas yang katanya "Majelis Cinta Nabi" moralnya terbuka selebar-lebarnya di depan kamera. Tubuh dilindungi kain, tapi harga diri dilecuti oleh goyangan yang dibungkus dengan kalimat suci.
Dalam pemikiran Simone Wild, berakar adalah mungkin kebutuhan jiwa manusia yang paling penting. Namun yang paling paling jarang diakui perempuan-perempuan telah tercabut dari akarnya; akar spiritual, akar martabat, dan akar logika. Mereka bergoyang di panggung bukan untuk berdakwah, tapi menari dalam kemasan dalil yang rapuh. Dan yang lebih mengerikan adalah mereka bangga. Bangga menjadi bagian dari persekutuan yang menggunakan Agama. Tidak ada lagi sekat antara yang sakral dan yang profan. Mereka membenarkan semuanya dengan dalih "kecintaan kepada Baginda". Padahal sesungguhnya yang mereka cintai hanyalah panggung, penonton, dan sensasi.
Jika rasa malu adalah sebagian dari iman, maka mereka telah kehilangan separuh imannya di tengah sorotan lampu dan tabuhan alat musik di panggung spiritual.
Komentar
Posting Komentar