Media sosial telah menjadi bagian hidup manusia digital. Tak hanya menjadi ruang interaksi yang lebih luas, banyak pula orang mencari kesenangan di sana. Alih-alih menemukan kebahagiaan, yang kerap muncul justru stres dan kecemasan. Mungkin banyak orang yang lupa, sumber kebahagiaan ada pada diri sendiri, bukan di jagat maya.
Media sosial dapat mendorong manusia untuk berinteraksi secara lebih luas. Namun, semakin lama diakses, teknologi itu justru membuat orang semakin tidak bahagia.
Media sosial (medsos) pada dasarnya adalah media interaksi antarwarganet. Tempat saling bertukar informasi mengenai apa pun sehingga dapat mempertemukan mereka yang memiliki kesamaan ide dan minat. Ini juga memungkinkan mereka saling mendukung meski tidak pernah bertemu langsung.
Namun, medsos juga kerap digunakan masyarakat sebagai wadah pertunjukan diri tentang segala hal, baik yang membahagiakan maupun menyedihkan. Dengan terus-menerus menunjukkan dirinya, seseorang berusaha menarik simpati dan dukungan orang lain. Itu diukur dengan banyaknya tanda suka, komentar positif, atau bertambahnya pengikut.
Contoh, aplikasi tiktok yang paling banyak digunakan oleh warga negara Indonesia mulai dari anak kecil sampai yang sudah lanjut usia. Menurut Laporan terbaru dari We Are Social ada sekitar 106,51 juta pengguna TikTok di Indonesia dan pada Oktober 2023, Indonesia dan menempati posisi kedua di dunia. Selain itu, berdasarkan data yang dihimpun dari Data.AI, TikTok adalah aplikasi yang paling banyak menyita waktu warga RI. Setiap bulan, pengguna TikTok menghabiskan 38 jam 20 menit di TikTok.
Narsisme
Media sosial memfasilitasi manusia untuk melindungi dan mempertahankan kepercayaan dirinya dengan selalu merasa bahwa dirinya lebih baik dibanding orang lain.
Untuk mempertahankan citra diri, orang cenderung akan menunjukkan hal-hal terbaik dalam unggahannya. Dengan begitu, orang lain yang melihat konten tersebut memandang dirinya sebagai sosok yang positif dan sukses. Namun, yang sering tidak disadari, konten seperti itu bisa memunculkan perbandingan sosial baik bagi orang lain yang melihatnya maupun si pembuat konten.
Perbandingan sosial sebenarnya bisa berdampak positif karena dapat memotivasi orang lain untuk bekerja dan berprestasi lebih dibandingkan orang lain. Masalahnya, kita tidak lagi membandingkan dengan belasan orang dalam satu kelompok pemburu-pengumpul seperti yang dilakukan nenek moyang manusia. Kini, kita membandingkan hidup dengan jutaan pengguna medsos lain, dari kalangan orang biasa hingga superstar. Sebuah perbandingan yang tidak setara. Meski perbandingan sosial biasa dilakukan, orang sering lupa bahwa apa yang ditampilkan dalam medsos adalah gambaran terbaik setiap orang. Mereka cenderung menutupi kekurangan, kegagalan, dan kesedihan yang dialami.
Kondisi ini menciptakan perbandingan yang tidak akurat karena orang akan selalu memandang hidup orang lain yang terlihat sempurna di dunia maya, tetapi bisa jadi sebaliknya di dunia nyata.
Perbandingan sosial juga bisa dilakukan ke atas dan ke bawah. Namun, manusia lebih suka membandingkan ke atas, dengan orang yang memiliki nilai sosial lebih tinggi. Proses ini sering memunculkan iri hati, tidak puas atas pencapaian diri, dan berpotensi menjelek-jelekkan orang lain karena dengki.
Sementara perbandingan ke bawah, yang bisa mendorong untuk mensyukuri hidup, sering kali justru dianggap kurang bermakna. Paradoks Paparan medsos telah memunculkan paradoks tentang kebahagiaan. Meski medsos dipenuhi kemewahan dan kenikmatan hidup, nyatanya, semakin lama waktu yang dihabiskan seseorang di sana justru membuat mereka makin tidak bahagia. Oleh karena itu, perlu ada koreksi dalam pemanfaatan medsos agar tidak hanya memudahkan interaksi dan memunculkan kesenangan, tetapi juga memberikan kesejahteraan yang hakiki. Orang Indonesia berumur 16-64 tahun rata-rata mengakses internet selama 7 jam 38 menit setiap harinya. Durasi itu jauh lebih lama dibanding rata-rata dunia yang hanya 6 jam 40 menit. Indonesia menduduki ranking ke-12 negara-negara yang paling banyak menghabiskan waktu di internet.
Tak hanya itu, waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia untuk mengakses medsos per hari mencapai 3 jam 11 menit. Itu juga lebih tinggi dari rata-rata dunia yang 2 jam 23 menit. Indonesia ada di peringkat ke-9 negara-negara yang paling banyak menghabiskan waktunya di medsos, berkebalikan dengan negara-negara maju yang justru lebih terbatas waktunya.
Sebagian orang menjadikan telepon seluler (ponsel) sebagai benda terakhir dan pertama dilihat sebelum dan sesudah tidur. Banyak pula anak muda yang menghabiskan waktunya dengan berselancar di dunia maya, khususnya medsos, tanpa tujuan yang jelas. Padahal, menggulir layar ponsel terus-menerus bisa memunculkan rasa takut kehilangan yang besar, khawatir tertinggal dari yang lain, hingga akhirnya menciptakan lingkaran setan pengguliran layar gawai yang tak pernah berhenti.
Pembatasan medsos
Untuk memutus munculnya emosi negatif dan ketidakbahagiaan akibat medsos, salah satu ahli psikologi, mengajak pengguna medsos untuk beristirahat sejenak dan lebih fokus untuk mengejar kebahagiaan yang sejati di dunia nyata. Sebab, ketergantungan pada teknologi digital justru membuat manusia makin tidak bahagia.
Pembatasan itu bisa dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan kondisi setiap orang. Awalnya bisa dimulai dengan 20 menit tanpa mengakses medsos sama sekali, khususnya di jam-jam rawan menggulir ponsel tanpa tujuan.
Gagasan hidup tanpa medsos mungkin terlihat aneh. Akan tetapi, cara ini dapat mengarah kepada kebahagiaan yang lebih besar. Saat ini pun, sejumlah anak muda di sejumlah negara mulai menginisiasi gerakan tersebut. Dengan meninggalkan medsos, seseorang bisa membebaskan dirinya dari gangguan digital dan tekanan identitas daring. Kebebasan yang kembali diraih setelah lama dibajak oleh media sosial pun bisa membawa seseorang menemukan kembali minat dan renjananya tanpa perlu memikirkan tanda suka dan komentar dari orang lain seperti saat masih menggunakan medsos. Berhenti menggunakan juga akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpikir dan berkreas ilebih bebas.
Adapun menggulir layar ponsel secara terus-menerus bisa membatasi imajinasi dan pemikiran seseorang. Untuk itu, menghapus akun medsos dianggap bisa memulihkan kejernihan mental dan melepaskan ide-ide kreatif seseorang yang terpendam. Memutus sejenak atau berhenti menggunakan medsos merupakan upaya untuk mengembalikan kendali seseorang atas perilakunya.
Dengan proses ini, seseorang dilatih untuk kembali merencanakan setiap perilakunya sekaligus memikirkan konsekuensi dari setiap tindakan. Meski medsos memiliki algoritma tersendiri yang membuat seseorang terpapar konten tertentu secara terus-menerus, algoritma di otak manusia yang harus lebih bisa diakali. Menjelajah media sosial tidak ada salahnya. Namun, batasi melihat konten-konten yang tidak menyenangkan, baik yang mengandung kekerasan, kemarahan, penghujatan omelan, maupun konten-konten yang bisa memunculkan iri hati.
Dengan mengendalikan perilaku mengonsumsi medsos, sejatinya manusia sedang mengendalikan otak dan jiwanya dari berbagai dampak negatif medsos. Hal itu demi menjaga kebahagiaan yang hakiki. Sebab, mengenali dan memahami dunia maya memang perlu. Akan tetapi, kebahagiaan yang sejati ada di dalam diri, dengan sejauh mana kita mampu memersepsikan pengalaman hidup yang membuat bahagia.
Komentar
Posting Komentar