Tidak ada bangsa yang mencapai kemajuan tanpa kebiasaan membaca buku. Sayangnya, gerakan literasi di Indonesia menempuh jalan terjal. Akses terhadap buku bermutu terbatas. Budaya membaca masih rendah. Tata kelola perbukuan nasional kurang terpadu. Tidak ada jalan pintas mendongkrak literasi. Tak cukup membagikan buku seperti dilakukan setiap tahun oleh berbagai lembaga pemerintah.
Tingkat literasi Indonesia rendah karena berbagai hal. Salah satunya, kebiasaan membaca buku belum membudaya. Alhasil, fondasi gerakan literasi menjadi rapuh. Selain itu, minim sokongan ketersediaan buku-buku bermutu.
Pemerataan akses ke buku diperlukan untuk membudayakan kebiasaan membaca. Akses ini mewujud dalam kehadiran toko buku, perpustakaan, pojok baca, pameran buku, dan komunitas-komunitas literasi. Sayangnya, banyak kendala meningkatkan akses itu. Sejumlah toko buku tutup karena merugi. Buku-buku di pojok baca kurang diminati. Harga buku di pameran-pameran buku juga tidak ramah di kantong.
Banyak perpustakaan lebih berorientasi pada kuantitas ketimbang kualitas buku yang dikoleksi. Perpustakaan akan semakin sepi karena pengunjung tidak menemukan bahan bacaan yang sesuai minat dan kebutuhan mereka.
Di sisi lain, buku bacaan bermutu dan menarik juga tidak mudah dijangkau. Harganya relatif mahal, terutama bagi kalangan pelajar. Penerbit pun kesulitan memasukkan buku ke sekolah-sekolah karena terkendala penerapan harga eceran tertinggi. Dengan kondisi seperti ini, buku bermutu tidak akan sampai ke tangan pembaca. Buku-buku yang dibeli karena harganya didiskon, bukan karena kualitasnya, tidak akan berujung pada peningkatan literasi.
Di sinilah peran pemerintah sangat dibutuhkan. Bukan cuma membeli buku-buku berkualitas, melainkan juga mendorong gerakan membudayakan kebiasaan membaca.
Kurang terpadu
Masalah lain perbukuan di Tanah Air adalah tata kelolanya yang kurang terpadu. Perbukuan diurusi oleh berbagai kementerian dan lembaga dengan program masing-masing. Bagus juga ada di banyak kementerian dan lembaga. Namun, harus ada lembaga yang memimpin sehingga tata kelolanya lebih terpadu dan setiap instansi tidak berjalan dengan misinya sendiri-sendiri.
Presiden Prabowo Subianto yang mengunjungi toko buku di India dan Amerika Serikat di sela-sela kunjungan kerjanya sempat menumbuhkan harapan. Presiden dinilai punya perhatian terhadap buku. Apalagi, Presiden juga mengoleksi banyak buku di perpustakaan pribadinya. Sayangnya, perhatian ini tidak menyebar dalam hal tata kelola perbukuan. Faktor kepemimpinan sangat penting untuk menangani masalah perbukuan yang sangat luas.
Bangsa-bangsa maju ditandai dengan kebiasaan membaca buku. Kebiasaan itu mengasah kemampuan berpikir kritis, kecintaan terhadap pengetahuan, hasrat berinovasi, penghargaan atas kekayaan intelektual, serta kekuatan imajinasi dan kreativitas. Jangan terjebak pada pikiran tertutup bahwa semua indikator kemajuan itu dapat diperoleh tanpa bacaan. Jangan sampai terjadi ada orang-orang yang dengan sengaja menutup pikiran agar mereka mendapatkan manfaat dari kebodohan orang-orang yang tidak membaca.
Komentar
Posting Komentar