Langsung ke konten utama

CINTA DAN RESTU ORANG TUA

Dalam pandangan Islam, cinta bukanlah syarat dari pada akad pernikahan. Hal itu, bukan berarti syariat melarang tentang yang satu ini. Dari beberapa keterangan, dianjurkan adanya perkenalan antara dua insan yang hendak mengikat janji suci. Bahkan islam sendiri memberikan kesempatan untuk bertatap muka untuk meneguhkan niatan bersatu. Dari sinilah menjadi bukti, bahwa islam juga memperhatikan terhadap perasaan hati. 

Setiap pasangan pasti mendambakan hubungan rumah tangga dengan penuh bahagia. Apalagi yang menjadi pendampingnya kelak adalah sosok yang dicintainya. Bayang-bayang kekasih terus menghantui, mengganggu nyenyak tidur malam hari. Sementara di satu sisi perempuan hanya setia menanti, penuh harap ketukan kumbang mewujudkan mimpi.  

Namun yang menjadi polemik di kehidupan modern ini adalah, ketika perempuan dijodohkan dengan laki-laki bukan dia cintai atau tidak masuk kriteria pasangan hidupnya. Dalam kondisi seperti ini, perempuan menggerutu bahkan tidak sedikit yang menentang keras keputusan orang tua. Curahan cinta kasih dan sayang orang tua yang mengalir deras setiap saat ditukar dengan buaian laki-laki yang dikenalnya sesaat. 

Rosululloh Saw sebagai Role model pemimpin negara dan pemimpin rumah tangga sukses tanpa celah sedikitpun. Apabila kita membaca sekilas sejarah bagaimana Rosululloh Saw menjodohkan putrinya Sayyidah Fatimah Az-Zahro' dengan Sayyidina Ali Karromallohu Wajhah dan Sayyidina Utsman bin Affan dengan Sayyidah Ruqoyyah. Bahkan beliau mempunyai gelar dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh sahabat lain, yakni Dzun Nuroin (Pemilik dua cahaya). Pasca wafatnya Sayyidah Ruqoyyah, Sayyidina Utsman dinikahkan dengan adik Sayyidah Ruqoyyah yang bernama Sayyidah Ummu Kultsum. Perjodohan bukan sesuatu yang tabu. Dalam beberapa kesempatan Rosululloh Saw mengajarkan para sahabat untuk menjodohkan anak gadisnya dengan pria Sholeh. 

Meskipun syariat sudah memberikan kebebasan dengan sebebas-bebasnya, para wali tidak boleh egois memilih pasangan untuk anak gadisnya. Ada beberapa persyaratan yang harus diperhatikan bagi orang tua yang hendak menyediakan calon imam untuk putrinya. Di antaranya adalah, dinikahkan dengan laki-laki yang serasi (Kufu'), mas kawinnya dengan mahar Mitsil, wali dan anak tidak mempunyai perseteruan. 

Persyaratan yang tercantum merupakan bentuk perhatian agar kebahagiaan perempuan terjamin dengan laki-laki yang dijodohkan. Sangat tidak logis jika ternyata anggapan bahwa perjodohan dalam islam merupakan diskriminasi terhadap kebebasan perempuan memilih pasangan hidup. Sebab, syariat sendiri sudah memberikan persyaratan untuk lebib menjamin kebahagiaan perempuan. 

Kalau dilihat menurut hemat penulis, pertimbangan orang tua jauh lebih matang dan bisa dipertanggungjawabkan. Karena para orang tua tidak akan sembarangan memilih pasangan untuk anak gadisnya. Para orang tua pasti sudah melihat ratusan laki-laki bahkan jutaan pasang mata dan siapa yang dikehendaki itulah yang terbaik. 

Seandainya cinta belum bersemi sebelum akad pernikahan, sosok laki-laki Sholeh akan lebih mudah menaklukkan hati perempuan Sholehah sejati. Sementara di satu sisi pertimbangan anak cenderung baperan dan lebih mengedepankan ego. Bisikan-bisikan setan, lebih bersahabat di telinga anak dari pada daun kuping orang tua. Meski menaati titah orang tua kadang berat, setidaknya menjadi awal yang baik dalam mengarungi rumah tangga. Toh, banyak perjodohan yang ujungnya bahagia dengan slogan, "Asiknya pacaran pasca menikah." Malah kalau dilihat angka perceraian bukan karena dipicu perjodohan, tapi masalah ekonomi.

Akhiron, meskipun syariat sudah memberikan lampu hijau untuk menikahkan anaknya secara paksa, para orang tua tidak boleh egois dengan memaksakan kehendak kepada anak perempuannya. Di sisi lain, syariat juga menganjurkan para wali untuk meminta persetujuan dari anak perempuan ketika hendak dijodohkan. Apalagi anak perempuannya kalau sudah dewasa dan bersikap bijaksana. Tentu saja musywaroh menjadi jalan terbaik demi kebahagiaan dan tidak adanya kesenjangan di kemudian hari. Maka alangkah bahagianya bila sebuah ikatan suci pernikahan didasari cinta dan restu orang tua. 

Catatan Mtz 
Sunan Ampel 05
01 Dzul Hijjah 1443 H. 

Komentar

  1. Ada juga yang dijodohkan tapi cerai, trs apa dong sebaiknya???

    BalasHapus
  2. Tapi banyak juga yang dijodohkan akhir episode akhirnya bahagia

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ILUSI SUKSES DI MASA MUDA

Keinginan untuk senantiasa hidup dalam keemasan masa muda mengendap dalam benak manusia sejak dahulu kala. Banyak dongeng diceritakan dari generasi ke generasi tentang air berkhasiat, benda ajaib, obat spesial, atau makhluk gaib yang jika kita menemukan dan menggunakannya, akan kembali muda dan kuat. Tujuannya agar bisa mengulang kesukesan dan kesenangan saat kondisi tubuh sangat fit. Sebagian lagi ingin mendapat kesempatan kedua untuk berbuat hal berbeda dan mencapai impian terpendam.  Namun, banyak orang meyakini kembali muda melawan hukum alam sesuatu yang mustahil terjadi. Ada pula yang percaya bakal ada teknologi untuk mencapai itu, tetapi belum akan terwujud dalam waktu dekat. Meski demikian, pemuja masa muda tak surut. Masa muda telanjur diyakini sebagai masa krusial yang menentukan seluruh hidup kita selanjutnya merana atau bahagia. Muncullah target pencapaian di usia tertentu. Usia sekian harus lulus sarjana, bekerja mapan, punya rumah, menikah, dan berkeluarga. Perempuan ...

PEREMPUAN DAN PANGGUNG SPIRITUAL

Dulu, perempuan rahasia langit. Langkahnya pelan, tunduknya dalam. Ia dilukis dalam sejarah sebagai simbol kelembutan. Bukan dijadikan objek dan dieksploitasi di altar pertunjukan yang katanya majelis sholawat. Perempuan sudah kehilangan eksistensinya dari penjaga nurani menjadi pelayan euforia.  Mereka menutup aurat, yes betul. Tapi hanya sekedar bungkus. Isinya goyang ngolek, goyang keramas. Dua istilah yang lebih cocok muncul di warung remang-remang daripada di acara yang konon katanya mejelis cinta Nabi.  Dalam pemikiran Simon de Beauvoir: "Perempuan tidak dilahirkan sebagai objek, tapi dibuat menjadi objek oleh struktur budaya". Tapi hari ini, di pentas absurd mereka bukan hanya menjadi objek. Tapi mereka sendiri yang mejadikan objek sebagai dalih ekspresi iman.  Gerakan tubuh yang menggeliat di atas panggung bukan bentuk ekspresi spiritual. Itu adalah penghinaan simbolik pada kemulian perempuan. Lantas, di mana rasa malunya? Di mana harkat dan martabatnya? Apakah me...