Menurut data terbaru badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, persentase penduduk usia 15-24 tahun di Indonesia yang tergolong ke dalam kategori NEET (not in education, employment, or training) mencapai 22,25 persen dari total penduduk dalam kelompok usia tersebut. Fenomena ini sangat mengejutkan.
Sebab, hal itu berarti hampir seperempat dari populasi muda di Indonesia (biasa disebut gen Z), yang sebetulnya berada dalam rentang usia produktif, ternyata tidak terlibat dalam aktivitas pendidikan, pekerjaan, atau pelatihan apa pun. Mereka, dengan kata lain, adalah penganggur!
Usia produktif seharusnya menjadi penopang bagi penduduk usia nonproduktif. Mereka mendukung kebutuhan ekonomi dan sosial populasi yang lebih muda dan lebih tua. Namun, tingginya tingkat pengangguran di kalangan gen Z mengacaukan keseimbangan ini. Alih-alih berperan sebagai penopang, mereka malah ikut menjadi beban yang harus ditopang.
Jika fenomena seperti ini terus berlanjut, tentu akan sangat membahayakan. Sebab, saat bonus demografi kita tiba pada tahun 2045, usia produktif bakal membeludak, tetapi sejumlah besar mereka yang menyandang predikat "usia produktif" itu tak lebih hanya sekadar predikat atau sebutan belaka. Sejatinya, banyak dari mereka merupakan para penganggur. Bukan hanya potensi produktivitas nasional kita terbuang sia-sia, beban ekonomi negara pun bertambah.
Selama ini jumlah penduduk usia produktif di Indonesia yang besar dan terus meningkat cenderung membuat kita terbuai dan bangga. Kita lupa bahwa menggantungkan harapan semata-mata pada besarnya jumlah penduduk usia produktif tanpa memperhatikan kualitas mereka adalah ilusi, suatu jebakan yang amat berbahaya.
Perlu disadari, sudah bukan zamannya bagi kita untuk bangga terhadap jumlah human resource (HR) alias sumber daya manusia (SDM) yang besar. Sebaliknya, kita harus segera membuka mata untuk melihat kualitas SDM itu. Dengan kata lain, kita bukan terpaku dan terpukau melihat HR, melainkan harus melihat SDM berkualitas.
Tanpa langkah sigap dan segera, niscaya mimpi besar kita pada tahun 2045 itu luluh lantak, berubah menjadi mimpi buruk yang menakutkan.
Dalam konteks "Indonesia Emas Tahun 2045", penting bagi kita untuk waspada agar lonjakan jumlah penduduk "usia produktif yang cenderung sekadar nama, predikat, atau sebutan tadi tidak terus berlanjut. Kita harus mengambil langkah-langkah yang sigap dan segera. Tanpa langkah sigap dan segera, niscaya mimpi besar kita pada tahun 2045 itu luluh lantak, berubah menjadi mimpi buruk yang menakutkan.
Duduk masalahnya sudah amat jelas, kemajuan sebuah bangsa tidak mungkin terjadi tanpa didahului oleh kemajuan di dunia pendidikan. Presiden John F Kennedy sudah berpesan sejak jauh-jauh hari, "Kemajuan sebuah bangsa tidak mungkin berjalan lebih cepat dari (harus didahului) kemajuan dunia pendidikan. Pikiran manusia adalah sumber daya yang fundamental".
Untuk memastikan bahwa pertumbuhan demografis kita menjadi peluang dan bukan bencana, salah satu langkah yang amat mendesak adalah menyesuaikan perspektif kita tentang makna "produktif" di era teknologi saat ini. Produktivitas tidak lagi sekadar diukur dari kapasitas fisik dan tenaga kerja konvensional, tetapi diukur dari kemampuan untuk beradaptasi dengan teknologi dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri yang terus berubah.
Tantangan zaman
Melihat perkembangan teknologi yang semakin pesat dan ritme industri yang bergerak cepat, maka sudah terang benderang bahwa tenaga kerja masa kini dan apalagi masa depan haruslah terdidik dan level pendidikannya harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan industri. Hal ini menjadi persyaratan mutlak untuk menjawab tantangan yang ada di era teknologi ini.
Sejalan dengan itu, investasi dalam pendidikan hingga level yang lebih tinggi, menjadi sangat penting untuk mempersiapkan tenaga kerja Indonesia menghadapi tuntutan dunia kerja yang semakin kompleks.
Gen Z, seperti disebut sebelumnya, mungkin memiliki keterampilan tertentu, tetapi keterampilan itu tidak selalu sesuai dengan pekerjaan yang tersedia.
Tentu hal ini kita harus lihat sebagai "alarm" bahaya dan sekaligus bukti bahwa belum ada kolaborasi yang baik antara dunia pendidikan dengan dunia usaha, dunia industri dan dunia kerja.
Kurikulum pendidikan dan sering kali tidak mampu mengikuti perkembangan terbaru dunia industri atau mempersiapkan generasi muda untuk sanggup memenuhi tuntutan pasar kerja yang terus berubah. Sebaliknya, dunia industri pun tidak memberikan masukan yang memadai kepada lembaga pendidikan mengenai keterampilan calon karyawan yang mereka perlukan.
Akibatnya, sejumlah perusahaan besar di Indonesia berinisiatif mendirikan sekolah menengah kejuruan (SMK) sendiri ataupun secara bersama-sama menyusun kurikulum, mendidik, dan melatih siswa sesuai dengan kebutuhan perusahaan mereka dan industri di mana mereka berada.
Terobosan ini tentu bermanfaat bagi perusahaan dan dunia industri. Namun, pada saat yang sama, hal itu sekaligus merupakan cerminan kegagalan sistem pendidikan formal dalam mempersiapkan tenaga kerja yang relevan dan berkualitas. Agar tidak menjadi bom waktu berupa ledakan pengangguran, hal ini tentu saja tidak mungkin dibiarkan tanpa tindakan apa pun.
Hal itu sekaligus merupakan cerminan kegagalan sistem pendidikan formal dalam mempersiapkan tenaga kerja yang relevan dan berkualitas.
Untuk menyongsong mimpi masa depan Indonesia menjadi negara maju, dengan memanfaatkan penduduk produktif yang besar, perubahan cara pandang dan mindset sangat diperlukan, terutama di kalangan pemangku kekuasaan dan pembuat kebijakan.
Kelompok usia produktif tidak boleh hanya dilihat sebagai angka statistik secara an sich. Kita tidak boleh terjebak di bawah tirani angka-angka seperti ini. Sebab, nyatanya, kita memang masih perlu mendidik, melatih, dan seterusnya sehingga mereka betul-betul menjadi modal berharga atau aset yang krusial untuk mencapai visi Indonesia 2045.
Dalam wujud konkret, langkah di atas harus dilakukan dengan cara merancang kurikulum pendidikan yang lebih fleksibel, adaptif, dan berorientasi pada permintaan pasar tenaga kerja; mempererat kolaborasi atau link and match antara SMK dengan dunia usaha dan industri pengguna serta meningkatkan dukungan pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif.
Jika langkah-langkah itu dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh para pemangku kekuasaan atau para pembuat kebijakan, maka terwujudnya Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2045 bukan merupakan fatamorgana, melainkan sebuah realita.
Komentar
Posting Komentar