Langsung ke konten utama

KEKERASAN PEREMPUAN KEJAHATAN KEMANUSIAAN

Kemajuan pembangunan ekonomi dan sosial nyatanya masih meninggalkan masalah besar bagi perempuan. Kasus kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan terus terjadi yang tak hanya menimbulkan luka dan trauma, tetapi hilangnya nyawa. Kegagalan negara melindungi perempuan adalah kegagalan negara melindungi bangsa.

Beberapa bulan terakhir, kasus kejahatan terhadap perempuan sebagai istri, pacar, mantan, maupun partner romantis terjadi di sejumlah daerah. Ini adalah persoalan lama yang terus berulang. Namun, lonjakan kasus kejahatan terhadap perempuan yang muncul di media saat ini menunjukkan kondisi perempuan Indonesia tidak baik-baik saja.

Sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan romantis yang mengemuka di media, antara lain, kasus D yang mendapatkan kekerasan dari pacarnya F. Keduanya sebagai Mahasiswa di Fakultas Tekhnik di Universitas Trunojoyo Madura. Bahkan berulang sampai empat kali. 

Di Surabaya, seorang pemandu DJ mengalami penganiayaan, pelaku salah satu Anggota dewan di Kabupaten Sampang. Motif utama pelaku karena rasa cemburu kepada dianiaya dan di kunci di dalam kamar. 

Selain itu, mahasiswi Universitas Trunojoyo Madura dibunuh secara brutal dan dibakar dalam keadaan hamil sangat tidak manusiawi. Motif utama, karena pelaku tidak mau bertanggungjawab. 

Kasus-kasus itu hanya sebagian kecil dari perkara kekerasan dan kejahatan pada perempuan dalam relasi romantis atau relasi personal yang terjadi di masyarakat. Ini adalah fenomena gunung es. Kasus kekerasan lain yang ramai diberitakan media dan viral di dunia maya juga tersebar merata di berbagai penjuru Indonesia.

Hilangnya nyawa perempuan akibat kekerasan dalam hubungan intim adalah puncak dari kekerasan yang dialami perempuan. Kekerasan itu tidak terjadi tiba-tiba, tetapi didahului oleh kekerasan lain, baik verbal, emosional, ekonomi, maupun fisik. Persoalan ini umumnya disadari korban saat tingkat kekerasan yang dialaminya sudah mendalam.

Karena itu, kematian perempuan yang dilakukan oleh pasangannya tidak bisa dianggap sebelah mata. Semua perempuan rentan. Semua perempuan bisa menjadi korban, tanpa memandang status perkawinan, usia, dan latar belakang ekonomi atau pendidikan. Meski perempuan juga bisa menjadi pelaku kekerasan, umumnya perempuan adalah korban.

Konstruksi sosial ini membuat perempuan lebih sulit mengambil keputusan, termasuk dalam menyikapi kekerasan yang dialami. Mereka bingung dengan situasi yang terjadi, bahkan sulit memikirkan dan menyuarakan keadaannya. Mereka mengalami gaslighting atau dimanipulasi pasangannya sehingga meragukan persepsi, ingatan, dan kewarasannya.

Situasi itu juga membuat sebagian perempuan berpandangan bahwa kebahagiaan pasangan atau keberlanjutan relasi mereka menjadi tanggung jawab diri mereka sepenuhnya, bukan kewajiban bersama pasangan. Kepatuhan terhadap pasangan adalah utama. Kekerasan yang dilakukan pasangan juga dianggap wajar demi kebaikan diri mereka.

Meski tidak bisa dijadikan alasan pembenar, perempuan yang lebih mudah menjadi korban kekerasan adalah perempuan yang rendah diri, sulit mengungkapkan gagasan, pikiran, atau perasaannya, dan cenderung menuruti kemauan orang lain. "Perempuan yang tidak memiliki penghasilan, tingkat pendidikan rendah, dan sangat bergantung dengan pasangannya lebih rentan terhadap kekerasan. 

Pandangan masyarakat

Stigma masyarakat makin membebani perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga atau relasi dianggap aib atau urusan pribadi yang tidak boleh diketahui orang lain. Perempuan dituntut mampu menyelesaikan persoalan itu sendiri meski kondisi mereka sudah terancam. Perempuan juga diminta untuk bisa menjaga relasi dan keluarganya meski menjaga dirinya sendiri saja sulit.

Tak jarang, perempuan yang justru disalahkan atas kondisi yang terjadi. Dituding tidak patuh suami, tidak bisa menjadi ibu yang baik, cewek gampangan, dan berbagai atribusi yang menyudutkan.

Pandangan yang menyudutkan perempuan itu membuat kepekaan masyarakat terhadap persoalan kekerasan perempuan lemah. Menurut Margaretha, dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya "Stigma membuat korban kekerasan umumnya baru sadar akan kekerasan yang dialaminya saat kekerasan yang terjadi sudah parah".

Pada saat bersamaan, ketika perempuan korban kekerasan itu berusaha meninggalkan relasi yang toxic, kekerasan yang mereka alami justru akan meningkat. Pelaku yang merupakan pasangan intimnya akan lebih reaktif dan melakukan segala cara untuk mempertahankan kontrolnya atas korban.

Akibatnya, perempuan harus menghadapi beban ganda akibat kekerasan yang dialaminya. Di satu sisi, perempuan mengalami kekerasan yang makin meningkat intensitasnya dan di sisi lain sudah dicap sebagai "pendosa" oleh masyarakat. 

Sikap media dan warganet yang tidak peka juga bisa menjadi hukuman baru bagi korban kekerasan. Dalam masyarakat dengan budaya patriarki yang sangat kuat dan terus meningkatnya konservatisme, risiko perempuan mengalami kekerasan akan semakin besar.

Pada banyak kasus, anak laki-laki yang melihat ibunya dipukul oleh bapaknya rentan menjadi pelaku kekerasan terhadap istrinya kelak. Meski dia bertekad tidak mau meniru kekerasan yang dilakukan ayahnya, dia secara tidak sadar telah belajar untuk menggunakan kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah.

Saat anak yang sudah menjadi dewasa dan berumah tangga itu marah, luka itu akan muncul dan mendorongnya untuk melakukan kekerasan serupa. Jika kemampuannya meregulasi emosi rendah, kemarahan itu akan dimuntahkan pada pasangannya. 

Sebaliknya, anak perempuan yang melihat kekerasan yang dialami ibunya, rentan juga untuk menjadi korban kekerasan. Meki dirinya bertekad untuk mencari pasangan yang tidak suka kekerasan, pengalamannya di masa lalu membuatnya lebih permisif terhadap kekerasan sehingga menganggap kekerasan yang terjadi padanya adalah normal.

Perlindungan negara

Dalam kondisi masyarakat yang belum mendukung, perlindungan negara terhadap perempuan korban kekerasan masih sangat lemah. Selain itu, banyak laporan kekerasan perempuan ke aparat penegak hukum ditolak karena dinilai tidak cukup bukti, masih berupa ancaman atau belum terjadi kekerasan, hingga dianggap konflik rumah tangga yang bisa diselesaikan sendiri.

Hukuman terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga pun masih sangat ringan. Penerbitan surat penetapan perintah perlindungan korban kekerasan dari pengadilan sulit. Aplikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga masih terbatas. Selain itu, penerapan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang relatif baru masih gamang.

Lemahnya kehadiran negara itu makin menempatkan perempuan dalam ancaman tinggi terhadap kekerasan. Catatan Tahunan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2023 mencatat ada 401.975 kasus kekerasan yang dilaporkan. Meski jumlah ini turun 12 persen dibanding tahun sebelumnya, itu bukan berarti kondisi perempuan lebih baik karena jumlah itu hanya berdasarkan kasus yang dilaporkan. Dari jumlah itu, kasus kekerasan dalam keluarga atau ranah personal paling banyak terjadi.

Kekerasan terhadap perempuan perlu segera dituntaskan. Untuk mencapai bonus demografi dan Indonesia Emas 2045, perempuan memiliki andil yang sama seperti laki-laki. Jika perempuan masih terjebak dalam tindak kekerasan, apalagi diwariskan antargenerasi, modal bangsa Indonesia untuk terus maju akan semakin terkikis.

Karena itu, kekerasan terhadap perempuan harus segara dituntaskan. Negara harus hadir dan tidak boleh gagal melindungi perempuan sebagai investasi jangka panjang keberlangsungan bangsa dan Negara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NIKAH DI USIA MUDA?

Di kampungku, perjodohan sesuatu yang sudah menjadi tradisi. Perjodohan menjadi salah satu alasan karena takut hilang hubungan keluarga atau lebih mempererat hubungan bisnis. Tapi apakah benar nikah di usia muda merupakan solusi?  Panutan ummat Islam, manusia Suci Manusia paling agung Baginda Nabi menikah di usia yang cukup muda, yakni di umur 25 tahun. Sebagai ummat Islam, menikahnya Baginda Nabi di usianya pasti banyak kebaikan. Banyak juga pasangan yang berhasil nikah di usia muda. Namun juga tidak bisa dipungkiri, jika dilihat fenomena hari ini banyak masalah yang ditimbulkan sebab nikah muda. Mulai mayoritas putusnya pendidikan, finansial dan perceraian dini.  Begitupun dengan menunda-nunda pernikahan merupakan langkah yang tidak baik. Di antaranya ialah menimbulkan masalah besar seperti sulitnya mengontrol syahwat dan terjadinya normalisasi perzinahan, pencabulan, perselingkuhan yang sering diberitakan di media sosial atau Media massa. Jika sudah fenomena lingkungan suda...

CINTA DAN RESTU ORANG TUA

Dalam pandangan Islam, cinta bukanlah syarat dari pada akad pernikahan. Hal itu, bukan berarti syariat melarang tentang yang satu ini. Dari beberapa keterangan, dianjurkan adanya perkenalan antara dua insan yang hendak mengikat janji suci. Bahkan islam sendiri memberikan kesempatan untuk bertatap muka untuk meneguhkan niatan bersatu. Dari sinilah menjadi bukti, bahwa islam juga memperhatikan terhadap perasaan hati.  Setiap pasangan pasti mendambakan hubungan rumah tangga dengan penuh bahagia. Apalagi yang menjadi pendampingnya kelak adalah sosok yang dicintainya. Bayang-bayang kekasih terus menghantui, mengganggu nyenyak tidur malam hari. Sementara di satu sisi perempuan hanya setia menanti, penuh harap ketukan kumbang mewujudkan mimpi.   Namun yang menjadi polemik di kehidupan modern ini adalah, ketika perempuan dijodohkan dengan laki-laki bukan dia cintai atau tidak masuk kriteria pasangan hidupnya. Dalam kondisi seperti ini, perempuan menggerutu bahkan tidak sedikit y...

MENGHILANGKAN STIGMA GEN Z

Generasi Z sering kali menjadi subyek perdebatan hangat di tengah derasnya arus perubahan zaman. Masyarakat, terutama generasi sebelumnya, kerap kali memandang gen Z dengan sorotan kritis.  Mereka melabeli generasi muda ini sebagai generasi lemah yang terlalu fokus pada kesehatan mental. Ada juga yang bilang mereka generasi instan yang menginginkan segalanya serba cepat. Bahkan, melabeli dengan sebutan generasi stroberi yang dianggap enak dilihat, kreatif, tetapi rapuh alias mudah hancur. Fokus genZ pada kesehatan mental itu sebangun dengan anggapan bahwa mereka demen healing. Ini kemudian mengarahkan generasi lain untuk menyebut gen Z sebagai kelompok yang tak mampu bekerja di bawah tekanan. Generasi Z atau gen Z adalah generasi yang muncul setelah gen Y. Banyak yang melihat secara berbeda tentang tahun lahir gen Z. Umumnya mencakup mereka yang lahir dari pertengahan hingga akhir 1990-an sampai awal 2010-an. Secara lebih spesifik, banyak ahli dan peneliti menetapkan rentang tahun ...