Serakah adalah sifat bawaan yang membuat manusia tidak pernah merasa cukup dan puas dengan apa yang dimiliki. Meski dipandang negatif, keserakahan lah yang menggerakkan ekonomi, mendorong kemajuan, dan menjaga eksistensi manusia hingga kini. Untuk meminimalkan dampaknya pada masyarakat, keserakahan perlu diatur.
Serakah, rakus, tamak, atau loba adalah keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang sesuai, sepantasnya, atau selayaknya. Sesuatu yang diperoleh itu digunakan untuk kepentingan sendiri, bukan untuk kebaikan bersama, dan sering kali merugikan orang lain. Keserakahan membuat orang tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki.
Keserakahan bisa berlaku untuk apa saja, berupa makanan, uang, harta benda, jabatan, kekuasaan, pengaruh, ketenaran, status, hingga urusan seks.
Menjadikan istri, anak, menantu, dan keponakan menduduki jabatan politik seperti yang sudah dinikmati, itu rakus. Menjadi ketua umum partai politik hingga beberapa periode. seolah tak ada orang lain yang mampu itu tamak. Juga serakah jika menduduki posisi ketua organisasi kepemudaan walau sudah berusia pra lanjut usia, bahkan lansia.
Menimbun sembako banyak-banyak saat orang kesulitan membeli barang yang serupa itu termasuk loba. Menumpuk bantuan sosial untuk keluarga sendiri dan mengabaikan orang lain yang juga membutuhkan itu juga rakus. Menguasai distribusi produk tertentu karena tidak ingin ada kompetisi dan agar bisa mengendalikan harga itu juga tamak.
Sudah memiliki suami atau istri yang baik, cantik/tampan, dan mendukung, tetapi masih mencari selingkuhan lain, itu termasuk serakah. Menyerang pribadi seseorang dengan dalih kritik hingga habis-habisan menjatuhkannya serta menunjukkan besarnya pengaruh dirinya itu juga tamak. Ya, semua manusia itu serakah dalam batas dan ukurannya masing-masing.
Psikiater, filsuf, dan pengajar di Oxford Inggris, Neel Burton, dalam tulisannya di Psychology Today, 23 Juni 2024, menyebut serakah bisa muncul dari trauma di fase awal kehidupan atas ketidak hadiran, ketidak konsistenan, atau pengabaian orangtua. Situasi itu membuat anak cemas, merasa kurang dicintai, dan harga dirinya rendah.
Akibatnya, saat dewasa, mereka rentan untuk terfokus pada ”pengganti” rasa cinta dan keamanan yang tidak mereka miliki di masa kecil. Upaya mencari pengganti itu akan mengalihkan perhatian dan rasa sakit yang dialaminya serta memberikan kenyamanan dan sejumlah kompensasi lain.
Serakah juga tertanam dalam genetik manusia. Keserakahan membuat manusia bisa bertahan hidup dan berkembang biak. Jika tidak serakah, manusia, baik secara individu maupun masyarakat, akan cenderung kehabisan sumber daya, tidak memiliki sarana dan motivasi untuk berinovasi dan berprestasi, hingga rentan ditundukkan takdir.
Kecanduan terbesar
Ciri lain dari keserakahan, menurut Ronald E Riggio, profesor kepemimpinan dan psikologi organisasi Claremont McKenna College Amerika Serikat, adalah orang yang berprinsip ”makin banyak makin baik”. Mereka senantiasa menginginkan porsi lebih besar dalam pembagian sesuatu, materialistik, hingga tidak bisa membayangkan jika dia sudah memiliki sesuatu dalam jumlah besar.
Masalahnya, seperti ditulis psikolog Leon F Seltzer, keserakahan itu adalah bentuk kecanduan paling besar. Dari semua jenis kecanduan, tidak ada yang mampu mengalahkan pengejaran seseorang atas kekayaan.
Saat orang serakah memperoleh sesuatu, otaknya untuk sesaat akan dibanjiri dopamin yang membuatnya senang. Namun, sesudah itu, dia butuh lebih banyak dopamin untuk bisa lebih memuaskan egonya. Karena itu, dia harus melakukan atau mendapatkan hal lain yang lebih besar sehingga tidak akan pernah ada kata cukup atau selesai.
Namun, upaya memperoleh kesenangan itu sejatinya merupakan inokulasi diri, yaitu upaya menutupi perasaan tertekan yang hampir tidak dikenali, yaitu cemas, depresi, rasa bersalah, atau malu. Perasaan tertekan itu muncul karena dari lubuk hati terdalam, mereka merasa tidak cukup baik atau tidak baik sama sekali. Keserakahan dilakukan sebagai ilusi yang harus mereka jaga untuk merasakan bahwa dirinya benar-benar unggul.
Mereka memang bisa memiliki segalanya, tetapi jiwa mereka hampa. Orang serakah senantiasa terpaku pada obyek keserakahannya. Hidup mereka hanya sebatas mengumpulkan sebanyak mungkin apa yang mereka mau, tetapi mereka tidak bisa menikmati apa yang telah mereka peroleh.
Selain itu, orang serakah juga cenderung memiliki kondisi psikologi negatif, seperti stres, kelelahan, kecemasan, keputusasaan, dan depresi. Mereka juga lebih mudah memiliki perilaku malaadaptif, termasuk judi, menimbun sesuatu (hoarding), mencuri, menipu, hingga korupsi.
Keserakahan juga merusak nilai dan sistem sosial di masyarakat. Keserakahan mengendurkan ikatan keluarga dan masyarakat serta merusak kekuatan prososial yang menjadi dasar pembentukan masyarakat, seperti akal sehat, kasih sayang, dan cinta.
Baik atau buruk?
Masyarakat umumnya memandang serakah sebagai perilaku yang buruk. Mereka membenci dan menolak ketamakan. Dibandingkan dengan keserakahan, masyarakat lebih menyukai sikap yang mengutamakan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri. Meski altruisme dipuji dan didambakan, nyatanya keserakahanlah yang lebih dihargai masyarakat.
Keserakahan adalah dorongan primitif dan demokratis yang cocok dengan budaya konsumtif manusia saat ini. Kerakusan manusialah yang akhirnya menggerakkan ekonomi dan menghasilkan kehidupan sosial yang unggul, dua hal yang senantiasa menjadi perhatian dan jargon hampir seluruh stakeholder.
Kemajuan ekonomi negara-negara maju saat ini, tingginya kualitas kesehatan dan pendidikan yang mereka miliki, hingga lingkungan sosial yang lebih memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan, semuanya diperoleh dari keserakahan. Dengan menguasai banyak sumber daya, bahkan menindas bangsa-bangsa lain, mereka bisa mencukupi kebutuhan dan menjamin keamanan masyarakatnya.
Karena itu, suka atau tidak suka, masyarakat memang didorong untuk serakah. Tanpa keserakahan, masyarakat akan kembali jatuh dalam kemiskinan dan anarki. Keserakahan itu diwadahi dengan baik. Meski sejumlah ideologi lain berusaha menghancurkan keserakahan itu, nyatanya ideologi lain itulah yang justru tergilas oleh kapitalisme.
Untuk menghadapi keserakahan itu, peraih Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1976, menilai tantangan yang dihadapi organisasi sosial adalah bukan untuk memberantas keserakahan, melainkan bagaimana organisasi sosial bisa mengatur keserakahan. Pengaturan diperlukan agar keserakahan memberi dampak yang paling sedikit merugikan bagi orang lain. Untuk itu, segala upaya yang mendorong keserakahan berlebihan, termasuk dengan membuat undang-undang atau aturan yang melanggengkan kekuasaan dan keserakahan seseorang, harus ditentang. Ingat, keserakahan yang berlebihan juga telah terbukti memicu resesi ekonomi berkepanjangan dan berdampak sangat besar bagi masyarakat dan negara.
Keserakahan juga bisa merusak lingkungan dan meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana. Penggundulan hutan, penggurunan, pengasaman laut, kepunahan sejumlah spesies binatang, hingga cuaca ekstrem dan perubahan iklim, semua akibat dari keserakahan manusia. Jika tidak diatur, manusia sendirilah yang akan hancur oleh keserakahannya.
Komentar
Posting Komentar