Generasi Z sering kali menjadi subyek perdebatan hangat di tengah derasnya arus perubahan zaman. Masyarakat, terutama generasi sebelumnya, kerap kali memandang gen Z dengan sorotan kritis.
Mereka melabeli generasi muda ini sebagai generasi lemah yang terlalu fokus pada kesehatan mental. Ada juga yang bilang mereka generasi instan yang menginginkan segalanya serba cepat. Bahkan, melabeli dengan sebutan generasi stroberi yang dianggap enak dilihat, kreatif, tetapi rapuh alias mudah hancur.
Fokus genZ pada kesehatan mental itu sebangun dengan anggapan bahwa mereka demen healing. Ini kemudian mengarahkan generasi lain untuk menyebut gen Z sebagai kelompok yang tak mampu bekerja di bawah tekanan.
Generasi Z atau gen Z adalah generasi yang muncul setelah gen Y. Banyak yang melihat secara berbeda tentang tahun lahir gen Z. Umumnya mencakup mereka yang lahir dari pertengahan hingga akhir 1990-an sampai awal 2010-an. Secara lebih spesifik, banyak ahli dan peneliti menetapkan rentang tahun kelahiran gen Z antara 1997 dan 2012.
Tanggapan sebagian tokoh seperti Prof Renal Kasali yang menulis buku berjudul Strawberry Generation, generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Enak dilihat, kreatif, tetapi rapuh alias mudah hancur atau tidak bisa bekerja di bawah tekanan adalah asumsi yang tidak berdasar. Banyak anak-anak muda yang justru unggul ketika dihadapkan pada tekanan besar.
Sebutan-sebutan seperti generasi lemah atau generasi stroberi mungkin tidak begitu mengganggu, tetapi ia menyadari bahwa stereotipe tersebut merugikan. Menggeneralisasi seluruh generasi sangatlah mengganggu. Ini kayak memasukkan generasi muda yang menjadi nahkoda Indonesia emas ke dalam kotak berlabel dengan asumsi semua orang sama berdasarkan generasinya, yang mana ini salah banget. Stereotipe ini bukan cuma enggak akurat, melainkan juga buruk.
Salah satu pakar psikologi Ali Mashuri, sekaligus Ketua Departemen Psikologi Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Menurut dia, stereotipe adalah pandangan yang menggeneralisasi suatu kelompok dan diterapkan pada semua anggotanya”. Jadi, tidak peduli bahwa sebenarnya anggota kelompok itu sendiri, kan, ada variasi, ya, dari segi personality, character, traits gitu, ya. Tapi, ketika orang terjebak pada stereotipe, dia akan memandang suatu kelompok dan pandangan itu berlaku untuk semua anggotanya".
Stigma tersebut, memang memengaruhi cara orang lain melihat dan memperlakukan gen Z, baik di lingkungan kerja maupun sosial. Sebab, ada orang yang percaya narasi yang tidak berdasar tersebut. Pandangan negatif ini dapat menentukan cara mereka memperlakukan gen Z.
Stigma umum Ali juga menyoroti bahwa stigma ini kerap kali muncul akibat adanya stigma umum (public stigma) yang didorong oleh media. Media memiliki peran signifikan dalam memperkuat dan menyebarkan pandangan negatif tersebut. ”Stigma itu muncul, ya, karena clash of identity (perbedaan identitas) tadi, di mana toleransi enggak muncul sehingga ter-blow up, di-endorse oleh media sosial".
Namun, terkait stigma ”generasi instan” cukup nyata, karena ada beberapa yang bawaannya pengin instan, bawaannya penginnya sesuatu yang kalau bisa enggak perlu banyak proses, enggak ribet prosesnya. Tentu, tabiat ini tak terlepas dari perkembangan teknologi.
Segala lini kehidupan telah dipermudah kemajuan teknologi sehingga minim proses panjang. Zaman dulu saja kalau mau pesan ojek, harus ke tukang ojeknya dulu. Sekarang tinggal klik-klik dan itu kira-kira sudah menyebar ke banyak lini hidup, kan, dari transportasi, dari makanan, dan banyak banget".
Beberapa waktu lalu, dunia maya sempat digemparkan oleh sebuah video dari seorang perekrut yang berasal dari kalangan generasi milenial. Dalam video tersebut, ia menyuarakan kegelisahannya dan secara terang-terangan mengkritik gen Z dengan menggeneralisasi bahwa generasi ini cenderung manja dan tidak tahan banting dalam dunia kerja. Generational gaps atau perbedaan antar generasi adalah hal yang wajar, mengingat setiap generasi hidup di zaman yang berbeda dengan keadaan yang berbeda.
Namun, melabeli suatu generasi dengan nada negatif sangatlah salah. Pelabelan tersebut merugikan sekaligus dapat menimbulkan konflik. Untuk itu, agar generasi lain, bahkan gen Z, menerima kenyataan bahwa setiap generasi mempunyai karakteristik atau keunikan masing-masing. Apabila ditilik lebih jauh, banyak juga gen Z yang sukses di berbagai bidang pada usia yang amat belia, bahkan di bawah 20 tahun. Sebutlah Ammar Mandilli Lubis (24) yang berbinis sejak usia 17 tahun dan membuka usaha di bidang potong rambut. Kini, ia menjadi politisi.
Ada juga Mauliana Putri (18) yang berbisnis di bidang kecantikan, khususnya masker wajah. Produknya diekspor kebeberapa negara tetangga. Itu untuk menyebut dua dari sekian gen Z yang berbeda dengan anggapan banyak orang.
Untuk mengubah pandangan negatif masyarakat terhadap gen Z, tindakan nyata dan contoh positif adalah kuncinya. Perilaku seseorang tidak mencerminkan perilaku keseluruhan generasi. Karena perilaku dan etos kerja adalah ciri pribadi.
Maka dari itu, pentingnya dialog antar generasi untuk mengatasi generational gaps tersebut, bahwa generasi terdahulu harus belajar beradaptasi dengan teknologi dan perkembangan zaman, sementara generasi Z perlu memahami dan menghargai norma serta etika yang berlaku. Kalau ada interaksi yang sekali dua kali di luar ekspektasi, ya, jangan langsung menegatifikasi. Kan, ada mekanisme untuk mengingatkan.
Komentar
Posting Komentar