Menikah jadi babak penting perjalanan hidup manusia. Namun, menikah memiliki konsekuensi tanggung jawab pada kebahagiaan keluarga dan pendidikan anak. Kian banyak warga Indonesia hidup melajang dan usia warga yang menikah menua. Keputusan menunda menikah merupakan puncak gunung es persoalan ekonomi.
Beberapa alasan menunda menikah ialah mahalnya harga rumah, biaya pendidikan, pengasuhan anak, bahan pangan, ongkos transportasi, dan ancaman pemutusan hubungan kerja. Alasan lain, selektif memilih pasangan, belum jadi prioritas, belum siap mental, dan nyaman sendiri.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik tahun 2012-2022 menunjukkan proporsi penduduk lajang naik 5,4 persen. Warga lajang pada 2012 sebanyak 40,3 juta jiwa atau 30,1 persen dari kelompok usia 15-49 tahun dan pada 2022 naik menjadi 52,6 juta jiwa atau 35,5 persen.
Tren ini berlanjut pada tahun 2023. Jumlah warga lajang naik lagi menjadi 37,2 persen atau 55,8 juta orang. Hal ini berarti pada tahun 2012 ada tiga dari 10 warga usia 15-49 tahun yang melajang dan pada 2023 angkanya naik menjadi empat dari 10 warga melajang di kelompok usia yang sama.
Seiring banyaknya warga Indonesia yang melajang, jumlah pernikahan dan angka kelahiran pun ikut turun. Selama 2012-2022, usia menikah warga Indonesia makin tua. Persentase penduduk menikah pada usia 20-29 tahun merosot paling tajam daripada kelompok usia lain, yakni 13,4 persen.
Dalam satu dekade terakhir, angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) menurun. Adapun TFR adalah rata-rata anak yang dilahirkan perempuan di masa produktifnya (15-49 tahun). Pada tahun 2022 TFR Indonesia mencapai 2,13, turun dibandingkan dengan tahun 2012 yang masih 2,51.
Hal ini sejalan dengan Laporan Proyeksi Penduduk Indonesia 2020-2050 yang dirilis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), yakni laju pertumbuhan penduduk pada 2020-2050 melambat. TFR Indonesia diprediksi akan menjadi 2,02 dan tahun 2045 turun lagi menjadi 1,95.
Tren usia pernikahan yang menua dan menurunnya angka kelahiran akan menciptakan proporsi warga lanjut usia (lansia) membesar. Pada 2045 struktur penduduk Indonesia diprediksi berbentuk penduduk stasioner dengan jumlah penduduk usia muda, dewasa, dan tua hampir seimbang.
Jika tidak diantisipasi, hal itu kelak jadi beban baru karena tingginya pembiayaan kesehatan warga lansia. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatat, pada 2023, sejumlah penyakit kronik degeneratif dengan pembiayaan terbesar pada peserta lansia di antaranya stroke dan gagal ginjal.
Untuk menjaga pertumbuhan penduduk seimbang, setiap satu pasangan diharapkan melahirkan dua anak. Karena itu, pemerintah perlu menyusun kebijakan keluarga berencana era baru agar memiliki anak bermutu.
Komentar
Posting Komentar