Hidup ini tidak pernah sempurna, dan kita telah mengetahui dan menerimanya. Meski demikian, ada saat-saat, atau situasi, kita sangat bersusah hati akibat persoalan yang sangat sulit kita terima. Situasi tersebut dapat berbeda bagi satu dan yang lain. Misalnya, ditipu dan diselingkuhi orang terdekat, atau tidak memperoleh layanan kesehatan secara baik saat mengalami sakit serius.
Ada pula yang soalnya sebenarnya tidak langsung mengenai diri sendiri. Mungkin hal tersebut terjadi di lingkungan kita meski tidak langsung berkait dengan kita. Atau, sebenarnya terjadi di lingkaran lain, tetapi karena melanggar nilai-nilai yang kita junjung tinggi, jadi mengganggu perasaan kita.
Melihat orang lain diperlakukan tidak adil meski kita tidak mengenal orang itu dapat membuat sebagian kita merasa sangat susah hati. Banyak lagi yang lainnya. Misalnya, melihat kesulitan hidup orang banyak di jalanan, atau membaca berita korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan hukum.
Dampaknya pada kondisi fisik dan psikis kita dapat sedemikian rupa. Sampai kita merasa lemas, tidak berdaya, kelelahan, tidak fit, sulit berkonsentrasi, skeptis, atau sulit mengelola rasa marah. Akibatnya, ketenangan hidup dan kelancaran pekerjaan terganggu, bahkan kita dapat berkonflik dengan orang dekat, khususnya bila ada perbedaan pendapat dalam menilai situasi.
Mengingat hidup berjalan terus, agar dapat menjalaninya, mau tidak mau, kita perlu berdamai dengan ketidaksempurnaan hidup. Untuk itu diperlukan penerimaan, strategi penguatan diri, dan perawatan diri sendiri.
Yang dapat dikendalikan
Salah satu cara mengatasi yang terpenting adalah memfokus pada yang dapat kita kendalikan. Terkait hal yang sulit kita terima tersebut, adakah yang dapat kita lakukan? Bila menyuarakan kekecewaan dan mengusulkan suatu perubahan, siapa yang bersedia mendengarkan dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan? Bagaimana cara menjangkaunya dan meyakinkannya? Atau tampaknya suara kita hanya akan memunculkan masalah baru bagi diri sendiri dan lingkungan terdekat?
Bila tindakan besar tidak mungkin dilakukan, tindakan-tindakan kecil mungkin dapat membuat kita merasa sedikit berdaya. Hal itu tidak harus langsung terkait dengan persoalan yang mengganggu kita, tetapi kita alihkan pada hal-hal yang lebih mampu kita lakukan atau lebih kita kuasai. Misalnya menyuarakan nilai-nilai yang kita anggap penting di lingkungan yang dapat kita jangkau. Karena kita ingin memastikan kepedulian generasi kita selanjutnya, kita menyampaikan kepada anak atau orang-orang muda di sekitar kita tentang perlunya bersikap peduli dan jujur, dan memberikan contoh nyata tentang hal tersebut.
Menjaga diri
Hal lain yang dapat membantu kita adalah mengambil jarak emosional. Untuk sementara waktu, demi menata emosi dan kestabilan diri, kita tidak bersedia membahas topik tertentu dengan orang-orang tertentu, tidak membaca koran, dan tidak mengikuti berita di sosial media. Bila sosok tertentu membuat kita merasa sangat tidak nyaman, untuk sementara waktu kita menghindar dari bertemu dengan orang tersebut.
Dalam situasi yang melelahkan hati, merawat diri menjadi prioritas. Kita dapat melakukan hal-hal yang sederhana saja untuk menurunkan stres. Misalnya meluangkan waktu untuk dapat berada di tengah alam, mengerjakan hobi atau hal-hal lain yang disukai.
Perasaan marah merupakan suatu respons alamiah terhadap perasaan tidak berdaya. Di satu sisi, perlu diingat bahwa perasaan marah tidak jarang menghadirkan masalah-masalah baru ketika kita tidak dapat mengelola atau mengekspresikannya dengan baik. Di sisi lain, menghayati rasa marah adalah sangat manusiawi. Perasaan marah menjadi sumber energi untuk dapat melakukan tindakan perubahan.
Tentang penerimaan
Bila kita tidak mampu mengubah situasi, penerimaan menjadi hal penting. Menerima bukan berarti menyetujui, melainkan menyadari bahwa ada hal-hal yang di luar kekuasaan kita. Berdamai dengan fakta bahwa hidup itu tidak sempurna dapat membantu kita bersikap lebih tenang. Kita diingatkan untuk dapat menghadapi tantangan dengan sikap lebih terbuka dan strategis, luwes, tetapi tetap tangguh.
Kita paham bahwa (untuk sementara waktu) kadang kita perlu bersikap realistis karena berbagai alasan. Misalnya, kita memiliki tanggungan kewajiban. Atau bila kita menyampaikan perlawanan terbuka, tindakan kita akan merugikan pihak-pihak lain yang tidak bersalah yang akan terbawa-bawa dan terkena dampaknya.
Tentang penerimaan ini tampaknya kita tetap perlu berhati-hati dan menjaga kejujuran pada diri sendiri, khususnya bila hal-hal yang tak semestinya tersebut terjadi di lingkungan kita sendiri. Benarkah kita sungguh tidak dapat mengubah situasi? Ataukah sebenarnya kita mencari cara yang mudah saja untuk mengamankan posisi diri sendiri, bahkan ikut andil dalam memantapkan terjadinya hal-hal buruk dengan mencari-cari alasan pembenaran?
Dalam situasi yang sulit, menemukan kedamaian hati sering memerlukan penyeimbangan antara penerimaan terhadap situasi dan tindakan nyata untuk melakukan perubahan. Bila tak ada penyeimbangan tersebut, yang terjadi adalah penguatan apatisme dan ketidakpedulian serta penumpulan hati nurani.
Komentar
Posting Komentar