Media Sosial Jadi Alat Mengincar Korban Kejahatan pornografi daring selama beberapa tahun terakhir terus berkembang dengan berbagai modus yang kian canggih. Media sosial menjadi alat yang paling mudah bagi pelaku kejahatan untuk mengincar korban. Permintaan pun semakin menjadi-jadi, bahkan di luar nalar kemanusiaan.
Perempuan selalu menjadi sasaran empuk pelaku. Mereka memanfaatkan situasi ekonomi. Dengan iming-iming sejumlah uang, mereka bebas beraksi dan meminta korban mengirimkan konten foto atau video bermuatan adegan seksual.
Eksploitasi fisik
Gambar atau tampilan feminin adalah kiat lain menarik lelaki pengguna internet. Chatbot dengan tampilan perempuan lebih sering menerima pelecehan seksual dan ancaman. Berbeda dengan bot bertampilan lelaki.
Warganet juga memperlakukan bot secara berbeda sesuai tampilan jendernya. Profil perempuan dalam media sosial mendapat kunjungan tiga kali lebih banyak dibandingkan profil akun lelaki. Itu didapat berdasarkan analisis lebih dari 40.000 profil yang dilakukan Cyabra dari Israel.
Profil perempuan yang lebih muda juga lebih mendapat perhatian pengguna internet. Bahkan dalam laporan Cyabra, ”Membuat akun palsu dan menampilkannya sebagai perempuan akan membuat akun tersebut mendapat jangkauan lebih luas dibandingkan akun palsu dengan identitas lelaki,”
Dalam dunia politik, akun palsu dengan profil perempuan juga dianggap lebih berhasil. Operasi dunia maya yang dilakukan sejumlah negara disebut-sebut menggunakan faux femme, perempuan palsu untuk menyebarkan propaganda dan penyesatan informasi.
Ada hal yang menarik ditemukan Liu Wenping, peneliti tentang disinformasi, saat mengkaji cara China memengaruhi pemilu di Taiwan. Ia menemukan begitu banyak akun media sosial palsu. Uniknya, dari begitu banyak akun palsu, sebagian besar menggunakan identitas perempuan.
Profil-profil palsu yang tampak seperti perempuan itu ternyata mendapat perhatian lebih banyak dan bisa memengaruhi lebih banyak dibandingkan akun dengan profil pria. Kata Liu, ”Berpura-pura menjadi perempuan adalah cara gampang untuk mendapat kepercayaan,”
Entah itu propaganda, penipu daring, atau chatbot kecerdasan buatan (AI), semua menggunakan profil perempuan. Ini membuktikan bahwa teknologi mungkin menjadi semakin canggih, tetapi otak manusia secara mengejutkan tetap mudah dibajak. Sebagian berkat asumsi jender yang telah lama bercokol. Asumsi ini telah beralih dari dunia nyata ke jagat maya.
Orang telah terbiasa menaruh karakteristik manusia seperti jender terhadap benda mati. Maka, tak heran jika citra manusia membuat profil media sosial atau chatbot menjadi lebih menarik. Itulah sebabnya pertanyaan tentang bagaimana teknologi bisa merefleksikan dan mempertegas stereotipe jender semakin mendapatkan perhatian. Ini terutama seiring asisten suara AI mulai beredar dan mengaburkan batas antara manusia dan mesin.
Bahkan jika ingin memperkuat hubungan emosional dan kehangatan dalam interaksi di dunia maya. Cara paling mudah adalah menggunakan wajah perempuan dan suara perempuan dalam berinteraksi. Pengguna internet lebih menyukai bot perempuan yang dianggap lebih manusiawi dibandingkan bot lelaki. Borau menyebut, masyarakat cenderung menilai sosok perempuan sebagai pribadi yang hangat, tidak mengancam, dan lebih dapat diterima dibandingkan lelaki.
Sebaliknya, lelaki dipandang lebih mampu sekaligus terkesan mengancam dan agresif. Oleh sebab itu, kebanyakan orang secara sadar atau tidak sadar lebih suka terlibat dengan akun yang tampil sebagai sosok perempuan.
Komentar
Posting Komentar