Gelombang digitalisasi telah menciptakan budaya digital dalam masyarakat kita. Dalam konteks ini, literasi digital menjadi kebutuhan yang mendesak. Namun, upaya untuk meningkatkan literasi digital di masyarakat tidak akan berhasil jika infrastruktur digital belum memadai. Bagaimana bisa mengajarkan literasi digital jika infrastrukturnya belum mencukupi?
DQ dan In-Q
Setelah infrastruktur digital mulai berkembang di era hari ini, hal lain yang perlu diperkuat adalah kesiapan masyarakat dalam mengarungi era digital. Saat ini menguasai emotional quotient (EQ), intelligent quotient (IQ), dan spiritual quotient (SQ) saja tidak cukup. Menurut Prof Nuh, ”Generasi saat ini membutuhkan dua kecerdasan lain, yaitu digital. quotient (DQ) dan Indonesian quotient (In-Q)”
Pada prinsipnya, EQ, IQ, dan SQ melekat di dalam diri seseorang. Akan tetapi, DQ dan In-Q sebagai entitas ”di luar” kebutuhannya sangat luar biasa dan krusial. Karena itulah, generasi masa kini perlu menambahkan kecakapan DQ dan In-Q.
Perkembangan digitalisasi juga dibayangi dengan merebaknya mesin-mesin kecerdasan buatan (AI). Kemunculan AI sebenarnya agak menggelikan karena sejatinya AI yang merupakan buatan manusia justru membuat khawatir penciptanya. Menyikapi hal ini, perlu ada perubahan paradigma untuk tidak menganggap AI sebagai musuh, melainkan partner atau mitra. Sebagai mitra sekaligus mesin, AI bisa dieksplorasi seoptimal mungkin untuk menunjang kebutuhan kita hari ini.
Tak berubah=selesai
Ada satu kisah yang menggambarkan bagaimana tekhnologi bisa dengan mudah mengubah hidup seseorang pelukis Prancis sangat terkenal Ernestme Meissoneir namanya, wafat pada tahun 1891. Dia sangat terkenal di Prancis dan ia juga terkenal di dunia. Karena kemampuannya untuk melukis wajah dengan sangat presisi. Bukan hanya wajah manusia, melukis objek apapun dengan sangat akurat. Saking terkenalnya museum di Prancis mendedikasikan satu ruang khusus untuk sang pelukis memamerkan karya-karyanya. Dia selalu disebut sebagai pelukis yang paling akan bertahan lama. Semua orang percaya kemampuannya yang sangat luar biasa akan dikenang sepanjang masa. Tapi tiba-tiba kamera ditemukan dan pada detik itu skillnya untuk bisa menggambarkan objek seperti hidup menjadi tidak lagi relevan. Pada detik itu, ia tidak lagi menjadi penting. Karena skillnya sudah tergantikan. Ini gambaran betapa kita harus selalu keep up with the change, kita harus selalu berusaha mengikuti perkembangan. Karena kalau tidak kita akan ditingkalkan oleh perkembangan.
Di Era Digitalisasi, Tsunami informasi dan perkembangan digitalisasi juga menerpa dunia media. Media tetap akan relevan di zaman sekarang. Pada prinsipnya, media tetap dibutuhkan, hanya bentuknya berubah. Jadi, kalau sekarang yang berkembang adalah dunia siber, media juga harus terjun merambah ke platform-platform hibrida. Siapa pun yang tidak mau berubah atau beralih kesana, selesai sudah.
”Oplah fisik (media massa) mungkin terus berkurang sehingga transformasi dari ruang fisik menuju ruang siber atau digital harus dilakukan dan kekuatannya ada pada konten. Jadi, medianya bisa berganti (dari fisik ke digital), tetapi kalau kontennya tidak kuat, tidak akan nyambung (dengan kebutuhan publik). Oleh karena itu, perubahan dari media fisik ke digital harus tetap dibangun, tetapi kekuatan di konten yang menjadi penentu akhirnya.
Bangun optimisme
Semangat optimisme, Indonesia akan bangkit pada era emas tahun 2045 mendatang. Tak dimungkiri, ada pihak yang sering kali bersikap pesimisme dan tidak peduli, ”Ah... Bukan menuju Indonesia emas, tapi menuju Indonesia perunggu, menuju Indonesia balok dll.” Namun, ada juga kelompok yang tetap optimistis ada harapan cerah pada 2045. ”Justru yang perlu dibangun adalah narasi optimisme ini. Yang harus terus didorong terus... masih hidup, masih hidup, masih hidup, dan seterusnya. Tetapi, kalau apatis, ya, selesai sudah. Bubar jalan. Oleh karena itu, mari bangkitkan bersama membangun budaya optimis.
Tidak kalah pentingnya adalah membangun budaya apresiatif-konstruktif. Kalau budaya apresiatif-konstruktif ini bisa dibangun, itu ibarat spiral yang outward, lari ke luar, sehingga tambah lama, tambah besar. Kalau masyarakat pelit, ia jadi spiral inward yang lari ke dalam, tadinya besar, tambah lama tambah kempis. Maka dari itu, Jangan sampai bangsa ini terjebak pada tradisi budaya yang enggan memberi apresiasi. Bagaimana pun terus didorong sekecil apa pun prestasi itu, harus diberikan pengakuan, apalagi prestasi dan dedikasi yang sudah ditunjukkan oleh putra-putri terbaik bangsa ini.
Ke depan, zaman tidak makin sederhana. Pasti kian rumit. Buku tentang the simple rule terbitan tahun 2014 menunjukkan bahwa kompleksitas bisa sampai enam kali derajat kompleksitasnya, termasuk complicated-nya pun bisa sampai 35 kali dari 10 tahun silam. Lalu, bagaimana cara mengatasi kompleksitas dan kerumitan itu?
Ada dua rumus sederhana apabila ingin memasuki wilayah sangat kompleks. Pertama, tingkatkan kemampuan berpikir. Untuk menghadapi persoalan kompleks, tidak bisa kemampuan berpikir kita berada pada the low thinking, tetapi harus kita naikkan menjadi the higher level thinking, naik lagi jadi the highest level thinking. Untuk menghadapi persoalan rumit, tidak ada cara lain kecuali, yang pertama, kemampuan berpikir ditingkatkan. Tidak cukup hanya kemampuan berpikir itu yang harus ditingkatkan. Ibaratnya, kalau masuk ke dalam ruang ini, sudah perkaranya rumit, lampunya mati, tambah tidak bisa dikenali persoalannya. Padahal, meskipun persoalan rumit, kalau lampu di sini terang, ditambah dengan kemampuan berpikir untuk menghadapi kerumitan itu bisa kita dapatkan, persoalan serumit apa pun bisa diselesaikan.
Harusnya media arus utama tetap bisa memiliki narasi optimisme. Tidak dipungkiri ada banyak persoalan, iya. Namun, persoalan-persoalan itu pasti bisa diselesaikan. Sulit dibayangkan jika di negara ini tidak ada lagi media sebagai penunjuk arah. Dengan memakai logika terbalik, kematian media berarti putusnya generasi seiring hilangnya fungsi media sebagai penyambung informasi.
Selain pentingnya peran media, yang dibutuhkan saat ini adalah hidupnya kembali diskursus publik. Diskursus publik saat ini agak lemah. Dauhnya Prof Nuh, ”Tesis harus ditantang dengan antitesis supaya keluar sintesis. Tesis ini nantinya akan menjadi tesis baru. Ditantang lagi, ditantang lagi, terus, dan terus agar bisa tumbuh berkembang dan kultur ini bisa tumbuh. Tetapi, jika ada orang punya pendapat A, lalu terus dimarahin atau dibungkam, maka tesisnya tidak akan berkembang dan mentok. Dengan demikian, diskursus publik harus terus kita dorong,”
Oleh karena itu, kolom-kolom opini di media menjadi wahana yang penting dan bisa dijadikan sebagai ukuran tumbuhnya diskursus publik. Kekayaan intelektual bisa dilihat dari tulisan-tulisan yang menunjukkan tentang kepedulian terhadap bangsa ini. Praktik-praktik seperti inilah yang perlu terus didorong untuk memunculkan diskursus publik. Jangan sampai, masyarakat kita terjebak pada apatisme atau ketidakpedulian karena dari situlah awal dari keterpurukan. Di tengah era digitalisasi, mari kita semua menjadi pembelajar sejati.
Komentar
Posting Komentar