Puluhan tahun lalu, dialah perempuan mulia dengan segala kelebihan tanpa sedikitpun kekurangan. Ingatkah kalian akan sosoknya? Sembilan bulan kita dalam rahimnya yang suci, mendekam berbentuk seonggok daging, memungut sisa makanan dan kesehatan selama menjadi janin. Baru kemudian keluar dibersihkan kotarannya dan disusui.
Ah, tidak pernah terbayang sedikitpun, dulu dalam kandungan, di bawa kemana-mana dia pergi. Saat ini, seonggok daging yang dulunya hina sudah dewasa, berpendidikan dengan gelar Starata 1, bisa mondok menimba ilmu dan bisa melanjutkan studi S2 di salah satu kampus ternama di Surabaya.
Beratkah kandungannya?
Lelahkah dia membawa kemana pergi dan tiba? Pasti jawabannya berat, sakit, lelah dan letih. Ya iyalah wong sampai mengorbankan nyawa. Tapi pernah kah kita mendengar Perempuan hamil tua mengumpat, mengeluh dan menyesal saat kandungannya sudah mulai membesar karena sudah berbadan dua? Tidak kan!
Rasa sakitnya kalah dengan rasa bahagianya karena sebentar lagi akan melihat sang buah hati yang akan menjadi pelipur lara, menjadi perisai ketika dia sudah tua, dan mendoakannya ketika sudah tiada.
Di manapun ia singgah seonggok daging itu dibawa tanpa sedikitpun merasa lelah dan letih. Perempuan sempurna itu tidak pernah mengeluh meskipun kandungannya semakin membesar. Bahkan dia semakin semangat dan penuh keikhlasan seraya mengelus kandungan sambil tersenyum, mendoakan agar menjadi anak yang bisa dibanggakan dan berguna bagi Agama dan bangsanya.
Payahnya seorang ibu bukan hanya saat saja melahirkan karena harus menyusui, begadang semalaman, membersihkan kencing dan berak buah hatinya. Bahkan ketika seonggok daging belum lahir ke dunia sudah menyusahkan.
Ketika seseorang ibu tidak mau makan, muntah-muntah karena jijik melihat makanan (Bawaan kandungan), tubuhnya semakin kurus karena tidak nafsu makan. Tapi masih tetap saja dipaksa, karena dia sadar, kalau tidak makan maka otomatis janin dalam kandungannya juga tidak makan. Takut prematur, takut tidak sempurna, cacat dan lain sebagainya. Apalagi ketika masa-masa perut semakin membesar, mau tidur terlentang berat, tidur tengkurap sudah tidak mungkin. Duh gusti, betapa sangat tersiksanya.
Maka dari itu sering-seringlah merenung bagaimana perjuangannya? Bagaimana rasa sakitnya? Bagaimana susahnya? Perjuangannya yang yang keras demi anak-anaknya yang dicinta. Menyesali segala tindakan dan ucapan yang pernah dilontarkan. Seperti sering membangkang, marah ketika dinasehati dan sering tidak jujur. Keburukan yang disengaja ataupun yang tidak disengaja, minta maaf kepada mereka dan mendoakannya sebagai bakti ketika sudah tidak bisa melihatnya dengan mata.
Semuanya perlu disesali dan ditangisi jika di semasa hidup sering membuat tersinggung bahkan melukai hatinya. Melukai orang tua termasuk bagian dari dosa yang besar (al-kabâir). Rosululloh ﷺ pernah bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا أُحَدِّثُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
Rosululloh Saw bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang dosa-dosa yang paling besar?" Para sahabat menjawab; “Tentu, wahai Rosululloh!” Beliau bersabda: "Mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.”
Mulai sejak menginjak sekolah paud, anak-anak ditanamkan pelajaran untuk senantiasa berbakti kepada orang tua. Biasanya guru TK mengutip Hadist, "Surga ada di bawah telapak kaki ibu." Dalam Hadits lain juga disebutkan:
الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ
“Orang tua adalah pintu surga yang paling baik. Kalian bisa sia-siakan pintu itu atau kalian bisa menjaganya” (HR. Tirmidzi). Dijaga dalam arti; orang tua harus dihormati, harus dihargai, disayangi dan dicintai sepenuh hati. Tanpa mereka berdua, apalah artinya seonggok daging yang berlumuran darah jika tidak dibasuh dengan air mata cintanya. Maka dari itu, jadilah anak yang berbakti dan berarti.
Catatan Mtz
Kelas II B Wustho
26 Dzul Hijjah 1443 H.
Komentar
Posting Komentar