Kedekatan seorang anak bungsu dengan abah umminya justru terbentuk karena jarak. Semakin berjarak maka semakin tercipta kerinduan. Lalu menjadi sangat hangat dan akrab.
Begitupun kami dengan abah ummik, bisa sangat akrab karena sejak saya lulus SD sudah sangat jarang bertemu. Bahkan abah sangat jarang menjenguk anak bungsunya di pesantren. Saya sering tanya sama ummik, "Mik, Aba Kaaamah?" Ummik hanya menjawab, "Abahmu kerja, belum sempat untuk menjengukmu nak". Hingga liburan pondok saya berani bertanya pada beliau. Panjang lebar abah menjelaskan dan berusaha memberikan pengertian kepada anak bungsunya, akhirnya saya mengerti dan tidak pernah menanyakan kembali perihal kenapa abah jarang menjenguk saya di pondok.
Zaman awal saya mondok belum kerasan, abah sangat dukah, tidak memberikan ruang diskusi sama sekali. Bagi abah, tidak ada ruang untuk rembukan untuk berhenti Mondok. Pokoknya harus mondok, harus jadi Ustadz, dan harus kuliah sejalan pendidikan agama dan umum. Itu tidak bisa ditentang ! Beliau memberikan pilihan yang sangat sulit. Boleh berhenti mondok, tapi tidak usah jadi anaknya abah.
Pesan abah, "Kamu harus mondok, saya tidak suka kalau ternyata kamu harapan satu-satunya abah tidak senang ilmu." Selalu nasehat Abah ke saya. Bahkan beliau sangat-sangat senang kalau saya mengajak Asatidz ke rumah. Walau hanya diisi makan-makan. Karena menurut beliau, upaya mencintai Ahlul Ilmu dan senantiasa mendapat Barokah.
Setelah saya sudah mulai tugas abah sangat dan ummik sangat senang, karena ternyata cita-cita beliau terwujud; mempunyai anak jadi ustadz sebagai upaya menebar ilmu dan bisa meneruskan cita-cita pendahulu. Di waktu senggang beliau cerita Kalau ternyata dulunya abah menjadi guru ngaji di rumahnya embah (Dhelemnya Almh. Ummik). Beliau menyebut satu persatu murid ngajinya dulu. Saya mendengarkan dengan antusias dan tidak pernah membayangkan karena abah bukan sosok pendidik, tapi pembisnis.
Keakraban dengan ngobrol santai membuat saya, abah dan ummik bikin hati nyetrum. Orang tua mempunyai firasat yang ajaib. Hanya dengan memandang wajah sudah tahu seberapa berat beban yang ditanggung putra bungsunya. Meskipun putranya memendam jauh dari di lubuk hati.
Ketika abah dan Ummik ke kembali ke haribaan, saya jadi kangen dekat dengan Abah dan ummik, kangen didekati seraya ngobrol dan menerima petuah-petuahnya, dikusuk pundak sama ummik. Sampai kapanpun nasehat Abah dan Ummik adalah mantra yang tidak ada tandingannya. Setelah Abah dan Ummik berpulang ke haribaan jarak dan waktu memang memisahkan, tapi hati saya dan beliau berdua tetap terpaut erat sekali.
Mungkin saya bukanlah anak yang bisa diandalkan semasa Abah dan Ummik masih hidup, sebab seringnya saya mempunyai keterbatasan. Tapi saya mencintai Abah dan Ummik bisa diandalkan setelah berpulang ke haribaan dengan terus melangitkan doa-doa sepanjang waktu.
Cinta Abah dan Ummik tanpa batas waktu, sudah semestinya doa saya juga tidak kenal waktu. Sebagai manusia biasa boleh bersedih, tapi tidak boleh bersedih terlalu dalam karena belum sempat membanggakan sama sekali. Yang terpenting sekarang kita masih punya doa-doa. Doa kita semua putra-putrinya hal penting yang bisa dibanggakan di kehidupan Abah dan Ummik yang baru.
عسى ان يجعلهما في الجنة
Catatan Mtz
Pusara, 24 Dzul Qo'dah 1443 H
Komentar
Posting Komentar