Masa remaja adalah masa di mana ingin mengeksplor apa yang diketahui, memiliki ketertarikan lebih pada lawan jenis, serta mendorong dirinya untuk lebih mandiri tanpa jadi lagi anak mami. Ketika masih masa kanak-kanak mereka senang bermain, baik sesama jenis ataupun dengan lawan jenisnya tanpa ada rasa sungkan sedikitpun. Tapi setelah menginjak masa remaja mereka sudah mulai ja-im alias jaga image, menjaga penampilan, merias wajah, memakai parfum menyetrika baju dan tentunya harus Stylish. Berbeda dengan sebelumnya ketika berangkat bermain, boro-boro pakai parfum dan menyisir rambut, mandinya harus dipaksa oleh orang tua.
Dalam pandangan Islam, anak-anak yang sudah mempunyai gelagat seperti di atas disebut Baligh. Di mana dia sudah sampaikan dan harus berhati-hati dalam menjaga syahwat. Sangat wajar pada usia ini, biasanya tidur dengan mamah papahnya sudah tidak mau dan minta kamar sendiri, biasanya senang ketika dimanja diperhatikan, dicium dan dipeluk oleh orang tuanya sudah mulai enggan dan risih.
Islam memberikan rambu-rambu ikhtilat atau campur baur antara lawan jenis di usia yang sudah mulai baligh. Selain untuk menghindari perkara yang tidak diinginkan, campur baur menjadi salah satu pendorong kerusakan mental dan moral dalam diri anak remaja. Terlebih di dunia pendidikan, di mana mereka dituntut untuk memahami pelajaran, menghafal materi serta fokus. Semuanya bisa hilang lantaran terjebak cinta lokasi dan lain sebagainya.
Beberapa bulan terakhir maraknya kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan yang masih berada di dunia pendidikan. Dan semua itu terjadi di lingkungan kita. Bahkan media-media mainstream hampir setiap hari memberitakan pemerkosaan, percintaan dua sejoli yang meregang nyawa bunuh diri lantaran hamil di luar nikah dan si laki-laki tidak mau tanggung jawab, oknum guru yang mencabuli siswinya, dosen menggauli mahasiswi dengan embel-embel nilai A dan lain sebagainya.
Siswa ataupun siswi tidak bisa konsentrasi ketika dalam fikiranya berisi cinta. Apalagi sang pujaan hati berada dalam kelas yang sama. Tentu hal ini bukan hanya tidak fokus, tapi lebih kepada sia-sia dan tidak bisa memberikan output yang menjadi tujuan. Yakni mencetak siswa yang cerdas dan berbudi pekerti luhur. Hal ini tentu bisa berkurang jika murid dipisah secara jenis kelamin. Selain Mudharot yang sudah banyak menjadi saksi bersama; bercampurnya lawan jenis juga bisa mengurangi keberkahan. Itulah sebabnya Fadilatus Syeikh Rkh Moh Muddatstsir Badruddin tidak mau bahkan Dukah (Marah) kalau sampai ada salah satu pendidikan formal atau non formal mencampur antara lawan jenis. Seperti dunia kampus pada umumnya.
Beberapa fasilitas umum banyak memberikan tempat terpisah antara laki-laki dan perempuan. Salah satunya adalah Toilet yang ada di Mall, SPBU dan wisata. Hal ini menandakan kurang baik campur baur antara lawan jenis. Selain karena norma yang berlaku, bercampur laki-laki dan perempuan bukan Mahromnya Menurut kacamata islam tidak boleh, kecuali dalam konteks lain salah satunya Ta'lim. Itupun kalau bisa harus pakai Satie (Kain penghalang).
Beberapa bulan lalu saya dengan teman-teman belanja kebutuhan Akhirus Sanah. Tepatnya di sala satu Mall Surabaya. Hingga pada tragedi salah masuk toilet dan ditegur oleh perempuan paruh baya dengan nada sinis, "Mas, tidak baca ya, ini Toilet perempuan" dengan lugu saya minta maaf dan beranjak ke toilet pria yang kebetulan ada di sebelah kanannya. Coba seandainya saya masih kecil belum Baligh tentu tante tadi tidak akan berkomentar apa-apa.
Sebagai kesimpulan, dari kejadian di toilet saya berpikir, "Kalau dalam membuang kotoran saja laki-laki dan perempuan dipisah. Apalagi dalam hal mulia seperti mencari ilmu." Mengutip dauhnya Alm. Hadrotus Syeikh KH. Nawawi Abdul Jalil Sidogiri Rohimahulloh, "Ilmu yang didapatkan dari dalam kelas yang bercampur antara laki-laki dan perempuan tidak akan manfaat dan barokah." Ya Alloh Naudzubillah.
Catatan Mtz
14, Romadhon 1443 H
Komentar
Posting Komentar