Santri dengan jadwa kegiatannya yang padat mengatur waktu sehari-harinya, mulai dari pagi hingga malam, memenfaatkan waktu semaksimal mungkin, agar tidak satu waktupun yang terbuang selain untuk menghasilkan ibadah maksimal dan belajar yang efektif. Karena dalam manajemen waktu santri, seorang pelajar akan sukses kalau bisa memenfaatkan waktu luang untuk mutholaah, mendalami ilmu pengetahuan dan berdiskusi untuk menambah wawasan. Secara umum santri mengalokasikan waktunya meliputi tiga waktu; pagi, sore dan malam. Pagi biasanya santri setelah turun hadiran subuh langsung ngaji kitab ke wali kelas, persiapan mandi dan sarapan kemudian sekolah Ammiyah, dilanjut sekolah Madrosiah hingga waktu sore, malamnyapun para santri terus mudzakaroh pelajaran siangnya yang dikenal dengan jam musyawaroh. Apakah hal demikian tidak memberatkan? Tentu tidak, karena menurut mereka, "untuk menjadi insan yang luar biasa, tidak bisa dilakukan dengan biasa-biasa saja." Entahlah dari mana mereka tahu bahasa seperti itu, tapi yang jelas dengan mutiara kalam hikmah di atas bisa memecut semangat para santri untuk terus mutholaah dan mengikuti kegiatan.
Dalam lembaran-lembaran sejarah para Ulama' tidak ada dari mereka² yang tidak sibuk kecuali tentang ilmu, mutholaah, dan menulis hingga dikisahkan salah satu ulama' terkemuka sebut saja Ibnu khayyath An-Nahwi belajar di tengah jalan, lalu terjatuh kedalam selokan, dalam bidang tulis menulis kita lihat Ibnu Jarir At Thobari yang Mashur namanya hingga saat ini, bukan tanpa alasan kemasyhuran itu didapat tidak lain karena beliau memenfaatkan waktunya untuk belajar, mengajar dan menulis. Khatib Al-Baghdadi menyebutkan, "Aku pernah mendengar As-Simsimi menceritakan bahwa Ibnu Jarir At Thobari menulis selama 40 tahun menulis setiap harinya 40 lembar." Bahkan satu jam sebelum wafatnya beliau masih sempat menulis sebuah ilmu. Dari perjalanan Ibnu Khayyath dan Ibnu Jarir At Thobari kita bisa mengambil ibroh bahwa mereka masyhur bukan karena kekayaan dan pangkatnya, tapi karena bisa mengatur waktu untuk ilmu. Dalam penutup Karangannya Syekh Abdul Fattah, sesungguhnya ummat ini baru memenfaatkan sepersepuluh dari kehidupan mereka yang semestinya! Atau, bahkan kurang dari itu, baik dalam hal produktivitas material, wawasan berfikir, atau ihwal kesehatannya. Adapun selainnya yang sepuluh persen dari kehidupan mereka hanyalah main-main belaka, penuh kemalasan, kelesuan dan ketidakberdayaan. Agar bisa hidup sebagaimana mestinya, kecuali dengan mengungkapkan kepada mereka bagaimana cara memenfaatkan waktu agar selaras dengan kemauan syariat dan akal sehat.
Santri sebagai pewaris Nabi dalam melanjutkan misi perjuangan, harus disiplin mengatur waktu, jika santri zaman ini mampu mewujudkan hal itu, maka dia akan menjadi sosok manusia lain, memiliki potensi dalam bidang-bidang ilmu. Para santri akan memiliki keperibadian terkhormat, dan ini akan bermenfaat pada dirinya sendiri dan orang lain. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Rosulullah:
خَيْرُ الناسِ أَنفَعُهُم لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (Hadits Riwayat ath-Thabrani). Tidak jarang banyak orang-orang hebat mengatakakan,Santri sebagai pelopor kemajuan bangsa dan modernisasi dengan kapasitas keilmuan dan akhlak yang mulia karena mereka terinspirasi dari jejak Rosululloh sebagai suri tauladan dalam disiplin waktu dan perjuangan menegakkan agama Islam. Sesuai yang sering disampaikan Fadilatus Syekh Rkh Moh Muddatstsir Badruddin pada saat Muhadhoroh di masjid "Santrinya Rosululloh tidak ngantukan, disipilin dan kuat."
Catatan Mtz. Vol 54
Panyeppen, 07 Shoffar 1443 H.
Coba²
BalasHapus