Setidaknya kita sudah bersama² mendermakan segala-galanya sepenuh hati. Hasil yang diraup mungkin tidak saat ini, insya ALLOH di kemudian hari, bukankah para petangguh sangat segan dihormati lantaran tidak pernah ingin dipuji, bukankah para pejuang mengisap kehidupan ini dengan cara dinikmati dan disyukuri, bukan sedikit² merintih untuk dikasihani. Pecundang ulung berkata dengan ciri khasnya yang mau menang sendiri, "Hidup ini penuh simpati, sehingga siapa saja yang bekerja secara sosial pasti hanya ingin dipuji." Sungguh, pernyataan tersebut sangat jauh dari kodratnya sebagai insani. Kalau pernyataannya ditangkap sebagai kebenaran hakiki, terus bagaimana dengan para pejuang yang gagah berani rela mati? Mungkin dalam hal ini kita sangat perlu menanamkan Kalam Hikmah Kyai Nawawi Sidogiri dalam sanubari, "Husnudzon yang keliru jauh lebih baik dari pada Suudzon yang benar." Bukankah dauh beliau harus kita wanti², jangan hanya didengari; resapi kemudian jadikan pegangan di kehidupan dunia fana ini.
Keinginan untuk senantiasa hidup dalam keemasan masa muda mengendap dalam benak manusia sejak dahulu kala. Banyak dongeng diceritakan dari generasi ke generasi tentang air berkhasiat, benda ajaib, obat spesial, atau makhluk gaib yang jika kita menemukan dan menggunakannya, akan kembali muda dan kuat. Tujuannya agar bisa mengulang kesukesan dan kesenangan saat kondisi tubuh sangat fit. Sebagian lagi ingin mendapat kesempatan kedua untuk berbuat hal berbeda dan mencapai impian terpendam. Namun, banyak orang meyakini kembali muda melawan hukum alam sesuatu yang mustahil terjadi. Ada pula yang percaya bakal ada teknologi untuk mencapai itu, tetapi belum akan terwujud dalam waktu dekat. Meski demikian, pemuja masa muda tak surut. Masa muda telanjur diyakini sebagai masa krusial yang menentukan seluruh hidup kita selanjutnya merana atau bahagia. Muncullah target pencapaian di usia tertentu. Usia sekian harus lulus sarjana, bekerja mapan, punya rumah, menikah, dan berkeluarga. Perempuan ...
Komentar
Posting Komentar